Daftar Blog Saya

Selasa, 09 Juni 2009

Si Hitam yang Buruk Rupa


Aku terlahir dengan lahiriyah tidak sempurna. Maksudnya, aku memiliki semua bagian-bagian tubuh sempurna dan tidak ada yang cacat, tapi kulit ku tidak lah seterang saudara-saudara ku, dan tampang ku tidak seelok mereka.

Gigiku yang tidak beraturan menambah sempurna nilai keburukan rupa ku. Si Hitam! Begitulah aku dipanggil oleh saudara-saudara ku yang sacara biologis memiliki darah yang sama. Tapi itu tadi, ada hal yang membuat ku special, atau lebih tepatnya, lebih buruk dari mereka.


Si Hitam. Panggilan itu selalu terdengar di telingaku hampir setiap hari, terutama ketika mereka kesal atau marah terhadapku, atau ketika aku berbuat salah. Atau kata-kata menyakitkan itu sering kali hinggap di telingaku ketika aku tidak merasa melakukan salah. Sakit rasanya hati ini dipanggil seperti itu, walaupun memang kenyataannya seperti itu.

Tapi, Adakah orang pincang senang di panggil Si Pincang? Atau Adakah orang sumbing berterimakasih dipangil Si Sumbing? adakah pula orang gila yang tersenyum karena dipangil Si Gila? Untuk yang terakhir mungkin jawabannya “ada’. Tapi aku kan bukan orang gila.

Tuhan mentakdirkan kita hadir di dunia ini dengan keragaman. Orang tampan tidak meminta dilahirkan tampan. Orang buruk rupa tidak memohon terlahir demikian.

Adakah Tuhan tidak adil? Mana sifat Maha pengasih penyayang Mu? Mengapa Kau biarkan orang-orang itu menghinaku? Naudzubillah himindzalik! Hilangkan fikiran seperti itu dari otak kita. Dia maha tahu mengapa Dia menjadikan kita berbeda dari yang lain.


Mungkin aku dilahirkan begini karena Dia juga menganugerahi ku dengan kekuatan, kesabaran, kebesaran hati, atau apalah namanya.

Mungkin benar demikian. Tapi apa dayaku. Aku tidak mengetahui hal-hal seperti itu. Aku hanyalah anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.

Hanya rasa sakit belaka yang aku rasakan ketika telingaku menangkap panggilan “Si Hitam”. Darah ku mengelegak sampai ke ubun-ubun. Lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa karena kalau aku membalas, kata-kata yang lebih menyakitkan akan keluar dari mulut mereka.

Maka aku hanya bisa diam. Ya, diam. Aku bersikap seolah-olah aku tiada terpengaruh oleh kata-kata meraka. Kalau mereka sudah memuntahkan semua sampah dari mulutnya mereka akan berhenti sendiri.

Ini kadang behasil tapi sering kali tidak. Kalau ini terjadi akan bertengkarlah aku dengan salah satu dari mereka, atau beberapa dari mereka.

Hasilnya? Mudah ditebak. Aku jadi tertuduh, terdakwa, bahkan terhukum karena dakwaan yang tidak benar yang didukung oleh kesaksian palsu Para saksi. Dan orang tua ku sabagai hakim biasanya tidak berfihak terhadapku yang notabene di fihak yang “benar”. Mereka dengan gampang menghukum ku dengan cara mengatakan bahwa aku salah dan mereka benar.

Tubuh ku memang tidak dihukum deraan dan kurungan tapi sisksaan psikologis itu sungguh menyayat-nyayat hati dan perasaan ku. Dan mereka tidak bereaksi apa-apa ketika saudara-saudara ku menghardik ku dengan kata “Si Hitam”. Seakan akan orangtua ku mengiyakan,

“memang kamu hitam kok. Mau apa lagi. Kalau sudah hitam dan jelek tetap saja hitam jelek. Gak usah marah kalau orang mengataimu seperti itu.” Memang kata-kata itu tidak meluncur dari mulut orang tua ku tapi yang diperbuatnya aku arti kan seperti itu.

Mungkin ada benarnya kata sebuah hasil penelitian di Amerika yang mandapati bahwa mahasiswa yang cantik dan tampan lebih cenderung mandapat nilai yang lebih baik dari para dosen dabanding para mahasiswa yang tidak seberuntung mereka yang memiliki wajah dan tubuh nan elok walau pun secara akademik sicantik dan tampan itu tidak sebagus si buruk rupa.

Itu kan penelitian di Amerika sana. Kalau di Republik tercinta ini tidak mungkin. Tidak mungkin apa? Ya tidak mungkin berbeda lah!

Sudah lah aku tidak membahas tentang hasil penelitian dibandingkan kenyatan di negeri. Kalau kena somasi dan dituntut jutaan rupiah kan repot.

Yang ingin saya ungkapkan adalah penelitian itu tercermin di keluarga ku. Sebagai dosen (banca: orang tua) mereka selalu memberikan nilai (baca: pembelaan) yang sempurna pada saudara-saudara ku dan tentu saja untuk ku alakadarnya saja. Itu pun kalau masih ada yang tersisa.

Tidak berhenti di situ. Aku punya banyak bibi dan paman. Mereka kadang bertandang ke rumah kami. Mereka baik-baik tapi tentu saja aku bukan lah pemandangan yang menyita perhatian mereka. Ada adik ku yang lebih tampan yang jauh lebih menarik dari ku. Dan ada kakak ku yang pandai bicara dan berkelakar.

Bagaimana dengan aku? Kalau mereka datang ke rumah kami, aku biasanya menyembunyikan diri dari tatapan mereka. Aku terlalu malu untuk manampakan wajah buruk dan kulit legam ku ini. Biasanya aku pura pura tidur di kamar belakang atau pergi bermain dengan teman-teman tetanggaku.

Aku beruntung teman-temanku tidak sejahat saudara-saudaraku. Aku merasa senang hanya ketika aku bersama mereka. Kami bisa bermain seharian ke sawah main perang-perangan atau membuat peluit dari batang padi, atau ke kebun ubi dan singkong sekedar mencicipi (baca: mencuri) hasil kerja para penggarap ladang.

Keluarga kami pun kadang menjambangi paman-paman dan bibi-bibi ku. Tapi aku hamper tak pernah diajak. Mungkin mereka terlalu malu dibarengi anak atau adik buruk rupa. Hasilnya sampai sekarang aku tidak punya alas an yang cukup untuk datang ke tempat mereka.

Keluarga ku memiliki koleksi foto keluarga yang diabadikan di sekitar rumah, di tempat handai taulan, dan di tempat rekreasi. Gambarku cukup dihitung dengan sebelah tangan karena jumlah nya tidak melebihi jari-jari satu tangan saja.

Ada beberapa alasan. Pertama, aku tidak diikutsertakan dalam perjalanan keluarga. ke dua, aku sering tidak ada di rumah karena bermain dengan tetanggaku. Aku lakukan itu untuk menghindari cacian dan kata-kata menyakitkan dari saudara-saudaraku. Dan ketiga, wajah ku di foto akan mempertegas keburukan tampang dan kelegaman kulitku.

Diambil dari sudut manapun aku adalah Si Hitam yang buruk rupa. Foto ku yang diambil ketika aku di sunat sering kali menjadi bulan-bulanan saudara-saudaraku terhadapku. Betapa tidak, si Hitam yang kerdil itu sedang menyeringai Manahan rasa sakit. Jelas sekali gigi yang jelas jelas tidak bisa dikatakan rata, dan hitam-hitam itu menambah kredit keburukan ku.

Karena sering nya saudara-saudara ku menghinaku dengan memperbincangkan foto ku itu aku jadi tidak tahan. Habis sudah kesabaran itu. Tapi lagi-lagi aku tidak bisa mambalas. Mereka terlalu sempurna untuk dicari kekurangannya.

Pada suatu hari ketika di rumah sedang sepi, diam diam aku buka album foto itu dan ku ambil foto sunatan ku yang selanjutnya ku bawa lari kebelakang rumah.

Di belakang rumah ku perhatika foto itu. Mereka benar tentang semuanya. Tidak ada satu pun yang bagus dari gambar itu. Aku benci wajah buruk ku itu.

Tahu-tahu air hangat sudah meleleh di pipiku. Rasa benciku terus bertambah. Dan aku mulai merobek-robek foto itu menjadi potongan potongan kecil, ku campakkan di tanah dan ku keluarkan pemantik dari kantong celanaku yang mulai robek-robek ini.

Hati ku terbakar dahsyat seiring dengan terbakarnya sobekan foto ku. Tidak seharusnya aku membakar foto diriku sendiri. Tapi apa daya, rasa sakit karena kata-kata menghina itu terlalu menyakitkan. Mungkin dengan tidak adanya foto itu hinaan yang sering menghantam gendang-gendang telingaku itu akan sedikit berkurang.

Aku tidak berharap lebih dari itu karena tidak mungkin hinaan itu menghilang sama sekali, kecuali mungkin kalau aku menjalani operasi plastik. Itu pun kalau operasi plastik total. Dari mana pula aku mampu mengumpulkan plastik kualitas tinggi dan mambayar dokter bedah plastik untuk manjalani operasiku itu?

Pernah suatu sore musim kemarau aku sedang bermain di sawah yang habis dipanen dengan teman-teman ku. Tentu saja yang namanya main di sawah, kami main kejar-kejaran dan perang perangan. Tubuh kami bersimbah peluh, dan pastinya bau dan kotor. Ketika sedang asik menikmati bermain kami.

Teman ku memberi tahuku tentang kakak ipar ku, yang bekerja di Jakarta dan sedang pulang menemui anak dan istrinya di kampung, adik ku, kakak-kakak ku, dan beberapa anak tetanga di samping rumah ku sedang berjalan-jalan sore.

Nampak oleh ku kakak ipar ku menenteng kamera yang baru dia belinya. Nampak nya mereka bejalan jalan sambil berfoto-foto. Mereka nampak berpakaian rapi dan bagus. Tentu saja begitu karena waktu itu berfoto bukan lah sesuatu yang biasa, boleh dikata kamera adalah barang yang mahal, tidak banyak orang yang memiliki, jauh berbeda dengan sekarang hampir semua orang memiliki kamera, setidaknya ada dalam hand phone mereka.

Dugh…! Ada sesuatu yang meninju di dalam dada ku. Betapa tidak anak-anak tetanggaku saja dia ajak, sedangkan aku yang adik istrinya tidak. Sekarang meraka sedang berjalan tidak jauh dari kami yang sedang bermain di kotakan sawah. Aku berharap dipanggil untuk ikut difoto-foto. Mereka semakin mendekat…Melewati kami… dan… berlalu. Tidak ada pangilan yang kuharapkan itu.

Sebenarnya aku tidak peduli akan kegiatan berfoto-foto mereka. Tidak ada keinginan ku untuk ikut berfoto bersama meraka. Aku yakin kalau itu terjadi aku akan menjadi pemandangan aneh ketika foto itu sudah tercetak.

Bayangkan, Si Hitam kerdil dan kucel, kotor dan bau ada di antara anak-anak yang bersih dan rapi. Akan bertambah lah bahan untuk mereka jadikan alat menghinaku. Yang ku inginkan adalah pengakuan, bahwa aku adalah bagian dari mereka. Bila itu mereka lakukan, dengan mengajak ku pergi berjalan-jalan bersama mereka, dan pasti akan ku tolak dengan mengemukan alasan-alasan, aku akan merasa dihargai sebagai manusia.

Tapi pemandangan yang ku tangkap adalah sikap penyesalan mengapa mereka harus bertemu aku di tempat itu. Mereka hanya berlalu dan menoleh ku sebentar seperti melihat seekor kucing buduk yang menjijikan.

Mereka sudah menghilang di seberang sungai setelah menyeberangi jembatan batang pohon kelapa. Aku mangajak teman ku melanjutkan bermain kejar-kejaran dengan tidak menghiraukan pertanyaan mereka mengapa aku tidak ikut saudara-saudaraku dan tetanggaku itu dan ikut berfoto-foto.

Aku sekarang sudah bergumul lagi dengan teman-temanku di atas tumpukan jerami. Aku tertawa-tawa dengan mereka dan menikmati sore yang cerah itu. Gatal-gatal di badan tidak dirasa. Semuanya normal seolah tidak terjadi yang aneh.

Sedang dalam hati bergemuruh api kemarahan, kesedihan, dan kebencian. Marah dan sedih karena aku tidak dapat pengakuan dalam keluarga ku. Dan benci terhadap diriku sendiri mengapa aku menjadi mahluk yang begitu buruk rupa sampai-sampai kelurga ku pun tidak sudi menyertakan aku dalam kegembiraan mereka.

Terkadang aku berfikir untuk mati saja. Ya, kematian mungkin akan meyelesaikan penghinaan ini. Mungkin aku akan pergi ke alam lain dan dijadikan orang atau mahluk yang tampan oleh Tuhan sehingga tidak akan ada yang menghinaku lagi.

Tapi bagaimana caranya supaya aku bisa mati. Kata orang kematian itu maenyakitkan. Teriakan orang yang sakaratul maut itu bisa terdengar sampai kelangit ke tujuh.

Manahan rasa sakit akibat penghinaan saja aku sudah tak tahan, apalagi kalau menghadapi kematian. Tak sanggup aku menghadapi hal terburuk seperti itu. Terlalu pengecut aku untuk berhadapan dengan malakal maut. Dan apa pula jadi nya ketika aku berhasil bunuh diri, ternyata Tuhan menjadikann aku mahluk yang lebih buruk. Jadi tikus got, jadi kecoa, jadi…babi hutan.

Ah lebih baik ku pendam saja keinginan ku untuk mati dalam-dalam, atau ku buang saja jauh-jauh. Biarkan lah sungai itu terus mengalir karena akhirnya akan berakhir di muara juga.

Semalam Ibu Datang (lagi)

Semalam ibu tercinta menjenguk ku untuk kesekian kalinya. 
Wajah mu tetap bagai air telaga 
Yang mamancarkan keteduhan dan kedamaian 
Kasih mu menembus ke dalam jantungku. 
Bersama peluk mu di raga ku. 
Tak ada yang pernah ku persembahkan pada mu. 
Tapi tak sudi kau memutus cinta mu.
Rengkuh mu dan bau harum tubuh mu obati penantian panjang ku.
Singkirkan dahaga kerinduan ku pada mu.  
Tapi Bu, cukup adalah tak pernah ada ketika peluk mu ada. 
Kunantikan kau kembali kapan pun kau berkenan.
Kau yang selalu tahu kapan waktu.
Kau selalu mengerti kapan aku benar-benar membutuhkan mu.
Robbighfirlii wali waali dayya kamaa robbayani soghiiro.
Allohummagfirlahaa warhamhaa wa’afihii wafuan’ha

Say "No" to Smokers

I was not feeling well that day. I was feeling so awful that I had to go to the doctor. I do not like seeing doctor actually. Like most other Indonesians, if the fact is true, I do not go to the doctor unless the illness is extremely bad or at least definitely annoying, or it prevents me from going to work for too long, meaning that I will earn less next month. What makes it worse; my employers do not pay for the doctor.

Now I was in the waiting room. I really hate waiting. The truth is no one likes it! I picked up a magazine from under the table and looked it up. Nothing interested me. All was about women’s stuff and quizzes since it was a woman magazine. I look around the room, and I saw an old granny—a granny must be old, mustn’t she—who was holding her bloated cheek. It seemed that she was suffering from a terrible toothache. She kept making a disturbing sound which really perfected my bad day. Not the right person to talk with to kill this boredom.

In front of me was a good looking girl, a very pretty girl, to be exact. I might have spent hours chatting with her, but in the room she was busy talking to his spoiled boyfriend who seemed to need to see the doctor, too. The chance was gone. And I was too reluctant to get close to a charming lady sitting rather far from my seat. I was not really sure that she would like to talk to me, any way. As a result, I just had to wait and do nothing until the call was for me.

After about thirty minutes, which seemed to me like a whole week, the assistant pronounced my name. You can’t disagree with this; “the sweetest song to anyone’s ears is the sound of their own name”. Narsis!—I don’t really know exactly how to spell the word or what language the word comes from, and I, at first, even thought the word was the play of the word “najis”. I promptly lifted my ass off the seat and directly headed to the doctor’s room.

In the room I was so amazed—I don’t actually remember about what I really felt—at this sight that I statued for a while until the doctor asked me to sit down. I could not believe what I was seeing! In the room was the doctor smoking. “What the h*** are you doing?”, that was what I had in my head. Only I did not have a heart to deliver it to my mouth and say it.
Before he did his duty, which was asking me questions, I asked him this stupid question, “Don’t you know that smoking is not good for your health?” I knew that my questioning was like mapatahan ngojay ka meri—a sundanese saying which literally means teaching swimming to a duck, or mapatahan hiber ka manuk—another sundanese saying which plainly means telling a bird how to fly.
I am not an authority in health, but I often heard of the danger of having cigarettes. It is no secret that smoking is dangerous to our health. Equally, second-hand smoke (the smoke that is given off from the burning end of a cigarette, pipe or cigar or the smoke that is exhaled from a smoker’s lungs) is also recognized for contributing to a wide range of undesirable health effects including cancer and asthma.
He smiled innocently before he answered, “I’m a doctor, and I know what I’m doing!” I had no reason to argue or to follow the question. A “sweet” smile in his mouth did not make him look friendly at all. I even saw a mouth of a wolf with fresh blood in it when he opened his mouth to speak.

I know exactly what his answer meant. I would not have asked this ridiculous question if he had not been doing it at the wrong place. I anticipated that it was a wrong place to smoke, don’t you think?

This doctor, who was at the same time an “irresponsible” smoker, asked me questions. Although I was not sure about his being able to diagnose correctly, or give or recommend the right medicines, I answered all his questions one after another. I was consulting the doctor but I did not trust him. How could it work?

This discomfort, which shouldn’t have had been, finally came to an end. Before I left, without any intention to find out the answer, I asked him this silly question, “Are you sure I’ll get better in a couple of days as you told me?”

As he put out his cigarette end in an ashtray, he answered in a “wise” manner, “Only God knows what will happen tomorrow.”

***

As I arrived home, I was thinking about what had just happened. I had even forgotten that I had been sick a while ago. The doctor was not completely “bad”, in fact. At least he was right about one thing, only God knows about the future.

Above is only one real example of smoking at the right time—the time is always right for smokers, anyway—but at the wrong place. Have you ever been in an angkot full of smoke coming out of some revolting mouths of some disgusting guys? These guys are enjoying the poison and pretending that nobody is around.

At another place, as a caring future father with a pregnant wife, why does he poison his unborn son together with his wife with this hazardous smoke?

Have you ever seen a father smoking at home with his children around? Realizing it, he lets them breathe in this harmful smoke from day to day, week to week… Do not say that you are one of those irresponsible fathers. There are still a lot more examples. You mention it!

It’s not actually my problem if an adult jumps from the tenth floor of a building. I also do not really care about a man doing 120 km per hour in his car without a brake. And I won’t be really disturbed when a parent cuts his own artery to death. But, it will be my concern if you jump fro the height to a crowd down there, if you risk other motorists, or if you take your son or daughter to “hell”. Go ahead risk yourself, but not others!

I don’t mind smokers at all, and I have been there myself. But I say “No” to irresponsible smokers. Let say “NO” to IRRESPONSIBLE SMOKERS! And for pregnant women, why not say “AMIT AMIT” to them.

***

PS: A person who smokes should not be treated as less than a citizen. While their decision may be unwise for their health, it is not an illegal activity. They do not deserve to have their rights stripped due to their risky decision. On the other hand, stopping smoking for an hour or two will not kill smokers, but letting children, pregnant women, and other non-smokers inhale the smoke does “kill” them.