Daftar Blog Saya

Rabu, 02 Maret 2011

Gadis Belia itu selalu di jemput Om-om

Mona adalah seorang anak sekolah yang cantik dan menggemaskan. Dia selalu berpakaian “sexy”. Ketika berangkat sekolah roknya selalu pendek. Saking pendeknya, sedikit saja dia, Maaf, nungging, tak ayal lagi CD (bukan compact disc) nya terlihat jelas sejelas-jelasnya. Tak jarang dia berlaku centil atau kenes. Banyak orang yang senang sekedar menyapa dan mengagumi dia waktu dia berangkat menuju sekolah.

Akhir akhir ini dia sering diantar jemput oleh Om-Om. Tak segan Mona dan Om Om itu bergandengan tangan bahkan peluk cium secara demonstratif tanpa merasa risih dengan tetangga dan siapa saja yang menatap dari jauh.

Yang mengherankan, para tetangga tak merasa terganggu dengan kenyataan ini, dan orang tua nya pun kayaknya tenang tenang saja.

Apakah ini sebuah pertanda zaman yang sudah edan parah? Apakah masyarakat semakin permisif dengan hal-hal yang, setidaknya, di zaman nenek dan kakek mereka dianggap tabu?

Tidak, tidak seperti itu. Saya yakin anda akan berfikir berbeda jika saya tulis berbeda sebuah terminology di atas. Di atas saya tulis “Om-om”. bagaimana kalau saya tulis “Om” saja. Atau saya tulis saja seorang “paman”. Dan satu kata kunci lain yang saya tutupi saya buka lebar ; Mona adalah seorang anak TK.

Saya menulis ilustratasi di atas untuk membuktikan (yang mungkin tak terbukti) dalam penggunaan bahasa jika suatu kata ditulis atau pengucapannya diulang akan bermakna negatif atau setidaknya tidak begitu menyenangkan.

Dalam illustrasi di atas saya tulis Om-om. Istilah itu dalam kehidupan kita diartikan sebagai orang tua yang suka melakukan hal yang kurang atau tidak terpuji. Mereka menyenangi perempuan perempuan muda untuk dijadikan obat awet muda walau pun biasanya mereka berperut buncit yang tidak menggambarkan profil orang muda sama sekali.

Begitu pun dengan tante-tante yang bermakna kurang lebih sama dengan Om-Om. Cuma yang ini kedoyanannya lelaki muda.

Kalau seorang perempuan usia 25 - 30an dikatakan seperti seorang ibu, apalagi keibuan kemungkinan dia tidak merasa “tidak enak”. Bahkan mungkin dia merasa bangga. Tapi coba saja dia disebut seperti ibu-ibu, mungkin reaksi dia akan berbanding terbalik. Atau lelaki dengan rentang usia yang sama dipanggil kebapakan akan berbeda reaksinya dengan dipanggil seperti bapak-bapak. Begitu pula kakek-kakek, dan nenek-nenek walaupun reaksi mereka tidak akan seresistan orang yang lebih muda.

Bagaimana dengan anak-anak?

Kesimpulannya adalah untuk beberapa kata, terutama yang dalam kasus ini yang ada hubungannya dengan pangilan, satu kata berarti netral atau baik, diulang berarti negatif.

Tapi tentu saja banyak juga kata yang diulang tapi tidak mengisyaratkan sama sekali arti negatif. Wallohu a’lam bissawab.

Catatan: Ilustrasi yang saya gunakan di atas pertama kali saya dengar dari seorang kawan yang sekarang menjadi penerus jejak Oemar Bakri yang sekarang tinggal dan menekuni karirnya di Tangerang. Dan gambar ilustrasi catatan ini bukan foto Mona. He he he ...