Daftar Blog Saya

Kamis, 06 Desember 2012

Cinta +Cinta + Cinta = Setan

Sewaktu saya  belajar di bangku SMA, tentu saja tidak setiap belajar selalu di bangku, kadang di kantin, tak jarang di teras sekolah sambil selonjoran, kami sering berkelakar tetang banyak hal, dari kejadian biasa sampai yang luar biasa juga hal yang barbau sex, walau pun jujur saja sampai sekarang saya tidak mengerti betul bau sex itu seperti apa. Ha ha ha, ada
 kura kura dalam perahu

Waktu itu adalah masa keemasan orde baru, dimana kekuasaan sekokoh tembok Cina yang tak akan bergeming walau pun dihantam seribu pasukan gajah.

Sedikit saja anda bersenandung dengan irama fals tentang penguasa, tangan-tangan kekuasaan akan meremas remas mulut anda dan menariknya dengan seketika sampai otak anda tercerabut dan tidak akan mampu berfikir lagi untuk sebuah sikap  penolakan terhadap penguasa.

Walau pun anda tidak suka, anda harus mengenakan seragam yang tidak nyaman dan membuat kulit tubuh gatal-gatal. Saya yakin masa itu jumlah hitungan orang yang tidak mau berseragam tidak cukup dengan menggunakan seluruh jari yang masing masing kita miliki, tapi mereka tak berdaya.

Mereka lebih memilih untuk cari selamat, bukan cari si Slamet, yah! Tak terhitung yang sangggup merendahkan diri serendah rendahnya untuk dapat menjilat pantat penguasa. Dengan demikian hidup mereka terjamin selamat, dan tentu saja, kebagian sedikit kue kekuasaan.

Bagaimana dengan orang-orang kritis dan idealis dan tidak sudi untuk mengekor . di antara mereka ada yang rajin bernyanyi mengoposisi kekuasaan, walau pun oposisi adalah kata yang haram waktu itu. Tapi jumlah mereka tidak banyak karena yang lainnya memilih untuk tiarap merapat rata dengan tanah, seperti sedang bersenggama dengan bumi. Sosoknya? Hampir tak terlihat. Suaranya? Hampir tak terdengar!

Hingga pada waktunya, benteng berlapis yang nampak mustahil goyah itu berhasil diluluh lantakan  dan hancur berkeping keeping oleh rejim baru yang berjudul “Reformasi”. Walau pun kata Reformasi saat itu dilarang keras oleh Duryodana–walau pun ahirnya dia meminta penguasa untuk lengser keprambon–untuk digunakan tapi Tuhan berkehendak lain.

Dan ini lah waktu emas untuk bangkit dari tiarap. Kebangkitan mereka berbarengan dengan waktu ketika matahari tepat di ubun-ubun. Banyak pahlawan yang jelas jelas telat rajin bernyanyi merdu. Bahkan banyak diantara mereka yang rajin menggelar road show.  

Lucunya, para begundal yang pada masa Orde baru ada di barisan terdepan pembela kekuasaan langsung balik kanan. Tapi bukan nya terus membubarkan diri dari barisan tapi bersenandung merdu menjadi individu-individu yang paling reformasi. Mereka membentuk barisan baru, “pahlawan kesorean”. Kemaren-kemaren pada kemana, Coy?

Ternyata, Orde yang lebih baru dari orde baru ini bukanlah jawaban dari masalah yang membelit negeri gemah ripah loh jinawi ini. Mungkin harus beganti beberapa lusin orde lagi sebelum negeri tercinta ini menemukan bentuk tubuhnya  yang ideal.

Sebelum saya tidak menyadari bahwa saya sedang terjerumus kejurang kebiasaan saya, ngelentur, sebaiknya saya kembali ke koridor semula yaitu tetang kelakar waktu SMA.

Seorang teman, sebut saja Si Budi–emang namanya si Budi, kok!,yang biasanya menjadi konsumen banyolan kawan-kawannya, tiba-tiba bertanya pada kami, “H2O + H2O + H2O sama dengan berapa?

Saya tidak harus berfikir keras untuk menjawabpertanyaan serupa itu. Walau pun teka-tekinya terdengar seperti rumus kimia dan saya sangat bebal dengan pelajaran itu. Guyonan itu berkualitas baik tapi jelas-jelas tidak orisinil.

Kebetulan semalam saya menyaksikan acara TV, yang kurang lebih secara jenisnya mendekati OVJ saat ini. Salah satu pelawak melontarkan pertanyaan serupa yang si Budi tanyakan. Saya yakin si Budi mengutip dari tayangan TV tersebut tapi dia tidak mencantumkan sumber referensinya.

Jadi jawabannya apa? BAJIR.  Si Budi tidak berhasil bahkan dia menjadi sasaran olok-olok teman temannya, ya termasuk saya, he he he.

Kemudian apa keistimewaan dari pertanyaan si Budi yang tidak lucu tapi menimbulkan kelucuan baru itu?

Lha, wong banyolannya tidak lucu kok bisa istimewa! Tapi jujur saja banyolan yang seharusnya lucu tapi jadi tidak lucu  itu berhasil menginspirasi saya.

Saya menemukan formula yang tidak masuk akal tapi merupakan satu kenyataan di negeri tercinta ini dan bahkan mungkin di dunia.

Perhatikan formula berikut: Cinta + cinta + cinta…= Setan. Mungkin anda, dan sebetulnya juga saya, tak habis mengerti, bagaimana mungkin cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia, kemudian cinta itu semakin dipupuk, kok bisa menghasilkan setan?

Cinta semestinya menimbulkan kadamaian, ketenangan, harmoni, kepedulian, perhatian, dan kasih sayang.

Coba perhatikan perjalanan berikut: Seorang anak manusia terlahir karena cinta ayah dan ibunya yang berpelukan merapatkan tubuh mereka. Sorga cinta yang mereka ciptakan ketika bergumul dalam gelora membara menghasilkan buah cinta putih tanpa cela.

Setelah gelar ke alam fana, cinta ayah bunda menabur buah cinta tanpa pernah terputus. Cinta anggota kerabat lainnya tak ketinggalan ikut menebar  ke dalam jiwa kebanggaan dan harapan seluruh anggota keluarga.

Do’a-do’a kebaikan tak henti mengaliri jiwa yangselalu dahaga. Pengajaran formal, non formal, dan informal pun ayah bunda persembahkan untuk sang permata supaya kelak mendapat bekal yang cukup untuk mengarungi samudera yang tak selamanya berombak ramah. Di sana dia kembali belajar cinta dan kebaikan.

Campurtangan religi pun turut menyuburkan cinta sang pujaan hati. Semakin sempurna lah cinta anak manusia ini.

Tapi apa hasil dari berondongan aliran cinta yang dia dapatkan? Menjadi apa dia? TERORIS! Sebuah kata yang menebar rasa takut. Yangat membuat getir justru kata “iblis” itu diidentikan dengan Islam, sebuah agama Rahmatan  lilalamin.

Karena kesalahan “kecil” dalam mengartikan ayat-ayat perjuangan agama, dia terjerumus ke dalam kubangan lumpur pekat hina dina. Hebatnya lagi, dia tidak menyesal dengan kematian dan ketakutan yang dia sebabkan. Tapi justru merasa bangga karena akan dibayar dengan surga di kehidupan setelah kematian.

Bali yang luluh lantak dan hotel marriot yang compang camping adalah prestasi yang membanggakan. Hilanggnya banyak nyawa yang tak berdosa adalah sebuah harga yang wajar untuk perjuangan atas nama Tuhan. Itu sudah terjadi sekian lama yang lalu, tapi bagi kerabat dan handai taulan yang ditinggalkan dua peristiwa itu seperti baru terjadi kemarin.

Kemudian , hantu baru mencekam warga ibukota dalam bentuk buku dan bungkusan paket. Itu  untuk menunjukan kepada si ‘kafir’ bahwa mereka masih ada dan mampu berbuat sesuatu yang fenomenal.

Mereka merasa lebih benar dari siapa pun yang berfikiran  beseberangan. Mereka yakin bahwa perjuangan nya adalah “hak”. Dan segala bentuk penenentangan terhadap perjuangan mereka adalah Setan yang darahnya halal. Sebetulnya mana yang Setan itu?

Gede Prana pernah mengatakan melalui Kompas, “ ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya dikelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menjaring mereka masuk ke dalam terowongan gelap kesalahfahaman. Mencaci mereka akan mempertebal kesalahfahaman.”

Saya tidak pernah mencaci mereka, tapi tidak habis fakir dengan jalan pemikiran mereka.

Dan saya yakin kabanyakan orang tidak akan menyangkal bahwa orang atau kelompok orang yang menghalalkan segala cara dengan membuat kerusakan di muka bumi, dan menghilangkan  sekian banyak nyawa seperti tiada harga adalah  berperilaku SETAN.

Semoga Agama Rahmatan lil alamin itu di usakan menjadi kenyataan oleh mereka yang lebih mengerti tentang agama dan oleh pemeluknya tidak terkecuali dengar porsinya masing-masing.

Semoa Allah mengampuni ketidakmengertian dan kebodohan saya.

Kamis, 29 November 2012

Curug Cinulang Cicalengka


Agustus kemarin tahun ini ketika saya berada di Bandung untuk beberapa hari, ada kesempatan untuk mengunjungi tempat yang terahir saya kunjungi 15 tahun yang lalu.  Seperti bulan lalu, ketika itu musim kemarau panjang yang memeras keringat.

Ada kemajuan positif yang saya temui. Jalan dari Stasion kereta Cicalengka menuju Curug sudah mulus beraspal. Kalau pun ada jalan yang agak rusak, cuma dibeberapa titik saja. Oh, ya, tempat yang saya maksud adalah Curug Cinulang, Cicalengka Kabupeten Bandung.

Kami berangkat dari Ciparay menuju Majalaya dan menelususuri jalan yang menghubungkan Majalaya Cicalengka. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan sawah yang sebagian sudah dipanen dan sebagian masih hijau. Nampaknya mereka menanam padi tidak serempak, sehingga memanenya pada waktu yang berbeda.

Tidak sampai satu jam kami sudah mendekati lokasi. Sekarang mulai terlihat ramai kendaraan yang didominasi roda dua. Mendekati lokasi kendaraan menuju ke atas mulai tersendat. Kurang lebih seratus meter dari lokasi sudah banyak kendaraan diparkir dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

“petugas” parkir yang jumlahnya melebihi cukup sibuk mengatur kendaraan diparkir di sisi kiri yang menghadap jurang dan kanan jalan yang menghadap tebing. Kendaraan roda dua yang disebelah kiri jalan sebetulnya bermain-main dengani bahaya karena berjarak beberapa centimeter saja dari tepi jurang.

Petugas parkir mengiformasikan bahwa lahan parkir dekat pintu masuk sudah penuh, dan dengan agak memaksa mengarahkan pengendara, terutama, roda dua untuk memarkir kendaraan jauh sebelum pintu masuk.

Selain mengatur parkir mereka juga berperan ganda sebagai broker karcis masuk. Memang harga yang ditawarkan sama dengan harga resmi tapi kami harus membayar parkir dua kali. Dan cara mewarkan mereka membuat pengunjung merasa tidak nyaman.

Setelah kami amati, ternyata para petugas parkir berlomba mengatur parkir dan mengarahkan setiap kendaraan di lahan parkir yang mereka kuasai. Kesimpulan saya, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok menguasai satu kapling.

Mereka juga terlibat dalam sebuah kerja sama kreatif dengan petugas penjaga pintu masuk. Tidak terhitung karcis yang seharusnya disobek menjadi dua bagian oleh penjaga pintu kembali lagi ketangan petugas parkir yang berperan ganda sebagai broker parkir. Dan tentu saja ditawarkan lagi ke pengunjung lain.

Di tempat Informasi saya sempat melihat dua anak muda yang sepertinya wartaan pemula yang sedang mencari informasi. Dari pembicaraan mereka dengan beberapa orang di tempat itu, yang salah satunya mendominasi pembicaraan, layaknya juru bicara, saya menangkap bahwa dua anak muda itu menanyakan jumlah pengunjung selama libur lebaran.

Dengan pongahnya sang “juru bicara” yang berpakaian bak jawara, atau tepatnya preman lokal, itu manjawab berbelit belit dan tidak memberikan informasi yang ditanyakan  kedua “wartawan” tadi.

“Kalian, wartartawan, mau dapat informasi dari kami untuk kepentingan bisnis kalian, semenatara kami dapat apa?”, kira-kira itulah kalimat yang keluar dari mulut sang Jawara dengan gayanya yang pongah dan pandangan merendahkan kedua pencari informasi itu.

Sementara  kedua “wartawan” yang nampaknya belum begitu berpengalaman itu hanya manggut manggut sambil senyum dipaksakan.

Saya tidak tahu kelanjutan perckapan mereka karena saya beranjak dan meninggalkan tempat itu. Lagi pula saya merasa eneg dengan tingkah dan gaya sang sawara yang KAMSE UPAY.

Memasuki gerbang Curug, saya mendapati lahan parkir yang berjarak beberapa meter saja dari pintu masuk masih bisa menampung puluhan kendaraan roda dua. Dugaan saya benar!

“Kehebatan” lokasi wisata itu tidak berhenti sampai disitu. Memasuki lokasi kita disuguhi pemandangan pedagang cindera mata yang tidak teratur. Dan ketika turun menuju curug, pemandangan yang seharusnya memanjakan mata terhalangi oleh kedai penjual makanan yang jumlahnya lebih dari banyak.

Pemandangan yang menjanjikan keindahan dan kesejukan mata terhalangi oleh atap-atap warung yang dilokasi yang seharusnya steril dari blokade yang mengubur pemandangan sejuk.

Sampai di arus sungai lebih menyedihkan. Plastik kemasan makanan, botol minuman, dan Styrofoam  berserakan di mana mana. Walaupun begitu beberapa anak remaja terlihat tak terganggu. Mereka berenang dan menyelam ke dasar sungai menikmati dinginnya air jatuhan dari curug. Dan beberapa anak usia sekolah dasar bermain air di tepi sungai.

Air terjun yang jatuh dari ketinggian mungkin bukan hal yang spektakuler dibanding beberapa air terjun yang lain yang ada di jawa barat, tapi sebetulnya punya potensi untuk menghibur dan memanjakan pengunjung yang ingin mearasakan kesejukan dan “pijatan” air yang jatuh ke bawah. Saya sempat merekam pelangi yang terbentuk dari pantulan sinar mentari dan cipratan air curug.

Hal yang menyebalkan ternyata belum habis. Beberapa pedagang lengkap dengan pikulannya berbaur dengan pengunjung dan dengan setia melayani pembeli, hanya beberapa meter saja dari air terjun, betul betul berada di sungai di atas batu-batu. Sebuah terobosan!

***

Dari pengalaman mulai dari tempat parkir sampai lokasi tujuan utama, saya berkesimpulan bahwa lokasi wisata itu dikelola amatiran oleh masyarakat lokal. Bagi saya amatir bukan hal yang negatif, tapi yang ini AMATIRAN.

Mereka hanya “menjual” lokasi, selesai, karena tujuan sudah tercapai, mendapatkan lembaran lembaran rupiah

Nampaknya masyarakat lokal yang menguasai lokasi itu hanya mengedepankan cari untung bukannya melayani. Dengan semangat melayani dan pengelolaan lokasi wisata dengan lebih professional sebetulnya akan secara otomatis menguntungkan mereka secara ekonomi.

Dan, pengelolaan wisata oleh masyarakat lokal sebetulnya bukan hal yang negatif. Bahkan hal itu bisa menjadi hal yang sangat positif karena itu berarti memanfaatkan potensi lokal dan sekaligus membantu ekonomi setempat.

Desa setempat yang namanya tercetak di karcis pun nampahnya tidak terlalu hirau dengan keadaan mengenaskan ini. Yang penting ada pemasukan untuk kas Desa. Dan mungkin ada pemasukan untuk kantong kantong perangkatnya.  

Curug Cinulang ku Sayang. Ternyata kau tak seindah gambaran dalam lagu yang dibawakan Seniman Sunda Almarhum Darso. Cobi, tiasa didangukeun didieu:

Pengalaman RRuaaar Biasa sebagai Pelanggan INDOSAT 2


Ternyata saya tidak harus menunggu sampai seminggu untuk dapat panggilan dari INDOSAT.  Keesokan harinya setelah komplen, 20 November 2012, saya dapat telefon dari +62111 dengan Pak Rizki, tidak tahu persis ejaan namanya dan saya juga tidak Tanya. Tak tanggung  tanggung Pak Rizki melakukan empat kali panggilan termasuk satu miscall dan satu tidak dapat dilanjutkan karena saya sedang kerja.

Pak rizki kembali menerangkan tentang masalah saya tapi tidak ada solusi kongret yang dia berikan. Dia hanya menanyakan, apa benar saya menggunakan Opera Mini? Apakah browser yang saya gunakan bawaan dari hp atau hasil download. Saya tidak mengerti betul perbedaan OM bawaan dari hp atau hasil download. OM yang saya punya hasil downloan dari Google play.

Kemudian dia meminta saya untuk melakukan hal yang telah diminta pula oleh Pak Teguh. Dia meminta untuk mengecek setting APN hp saya bahwa harus indosatgprs, bukannya indosat saja.

Saya katakana pada yang terhormat Pak Rizki bahwa saya sudah mengecek APN di hp saya lebih dari sekali dan settingnya seperti yang seharusnya, indosatgprs.

Tapi seperti kebo bego—ada nggak, yah, kebo yang pinter?--, saya harus ikuti kata beliau, dan karena ini bukan sulap, ya, settingnya tetap indosatgprs.

Setelah saya terangkan apa yang telah saya lakukan dan saya lihat dengan mata yang tentunya lengkap dengan kepalanya , dia menjanjikan untuk mengecek, kembali, status pemotongan pulsa saya, dan dia juga mengatakan bahwa saya ada di paket paket Opera mini, berbanding terbalik dengan pernyataan petugas call center yang pernah saya hubungi, Pak teguh, yang mengatakan bahwa di INDOSAT tidak ada paket Opera Mini. He he, jadi lucu, Cuy! Lebih lucu dari OVJ.

Ketika saya tanyakan tentang kemungkinan pengembalian pulsa saya yang terpotong dengan “tidak sengaja” oleh INDOSAT, dengan bijak beliau meminta saya untuk tidak hawatir. Kalau dari hasil pengecekan professional yang dilakukan INDOSAT ditemukan ada pemotongan pulsa yang tidak dengan semestinya maka pulsa itu akan kembali keharibaan pemiliknya dengan selamat sentosa, aman, adil, makmur dan sejahtera.

Saya katakan pada beliau bahawa sesungguhnya saya merasa hawatir dengan pulsa terpotong yang nilainya tidak seberapa bagi INDOSAT itu. Saya tidak yakin dengan apa yang hilang akan kembali dengan happily ever after.

Dengan nada yang agak meninggi, tapi tidak setinggi vocal Mariah Carey yang, kalau tidak salah, mencapai 4,6 oktaf, sekali lagi dia meminta atau mungkin ditelinga saya seperti memerintah  saya untuk tridak hawatir, karena setelah pengecekan, yang entah akan memakan waktu berapa ama, akan diketahui kalau ada kesalahan pemotongan pulsa.

Hwaduh! Sudah pulsa melayang dengan tidak bisa mengambil manfaat dari pemotongan itu, ditambah dengan pemotongan pulsa yang tersisa waktu browsing dengan OM, untuk hawatir saja saya mesti dilarang larang.

Dengan segala hormat,  masalah perasaan adalah masalah saya sendiri. Mau hawatir, sedih, marah, gembira, itu urusan saya. Tidak usah lah melarang larang!

Yang mempengaruhi perasaan saya adalah keadaan bukan mulutmu.


***

Pun pada panggilan terahir, pada hari yang sama jam 11.55, dia mengulangi saran “bijak”nya. Untuk ,mengecek seting APN dan menanyakan situs yang saya kunjungi dengan OM. Barang kali ada situs yang mengharuskan saya bayar tariff regular. Ini lah situs yang saya kunjungi: m.facebook.com, persibholic.com, m.detik.com, m.duniasoccer.com, m.pikiran-rakyat.com, dan m.antaranews.com.

Apakah situs diatas ada yang tidak termasuk yang bisa dikunjungi paket OM. Dia masih penasaran dan “mencurigai” saya mengunjungi situs yang mengharuskan saya membayar dengan pulsa regular. Apakah maksudnya saya mengunjungi situs cabul?

Saya pernah mendengar dari pakar Telematika, bukan telo matika, bakwa dengan teknologi yang ada kita bisa mengetahui siapa mengunjungi apa dalam internet. Siapa itu mungkin bukan orangnya  tapi perangkat yang digunakan. Apa lagi melaui hp atau telepon rumah, kan jelas nomornya! (??). Providernya saja sudah terang benderang.

Mungkin alat teknologi itu belum ada, atau ada tapi untuk mengoperasikannya perlu biaya yang belipat lipat melebihi jumlah pulsa saya yang hilang. Jadi, besar pasak dari pada tiang.

Lagi lagi, orang ini memang pantang menyerah, Pak Riski, Rizki, atau Rizky, meminta saya kembali mengecek setiing APN perangkat hp saya, dan kemudian dia meminta saya untuk menghubungi kembail INDOSAT dalam waktu dekat.

Ketika saya meminta kembali INDOSAT yang menghubungi saya, dengan sangat sopan, dia menolak dengan alasan masih ada ratusan, mungkin rubuan, kalo tidak jutaan pelanggan INDOSAT dalam antrian yang harus dilayani. Jadi, dengan kata lain, tidak melulu megurusi masalah saya. Ooooh, jadi banyak juga yah, yang komplen.

Kemudian dia menyarankan saya untuk datang langsung ke perwakilan INDOSAT yang beralamat di Pesona Kayangan Blok 5 Jl. Margonda Raya no. 45 Depok, dan membawa handset saya untuk diperiksa.

Untuk memperjuangkan nilai Rp. 30.000 ditambah beberapa recehan, sampai ribet begini., yah?

Kalo saya datang ke alamat yang diberikan, ada kemungkinan masalah saya terpecahkan dan pulsa saya akan kembali atau nilai manfaat akan saya dapatkan. Tapi kalau tidak?

Untuk datang kesana saya harus mengeluarkan ongkos, ditambah waktu dan energi. Kalo pulsa saya kembali, kalo tidak? Akan bertambahlah kerugian saya. Seperti orang sering bilang, “Hilang kambing bisa hilang sapi”.

Saya sudah patah arang. Udah ancur, panas, item lagi.

Adioooooos!

***

Saat ini saya sedang menikmati paket Opera Mini bulanan dari provider yang berbeda dengan biaya lebih mahal Rp. 5000, tapi  saya tidak harus kehilangan pulsa utama saya setelah browsing dengan OM.

Wassalam!

Rabu, 21 November 2012

Pengalaman RRuaaaar Biasa sebagai Pelanggan INDOSAT


Saya pelanggan indosat mentari No. 081-519-319551. Setelah sekian waktu berlangganan, saya tidak menemukan masalah serius sampai pada hari Senin tanggal 19 November 2012.

Pada  hari itu, 19 November 2012, saya melakukan top-up nomor saya lewat ATM BCA sebesar Rp. 25.000. di print out tercetak jam 11: 46: 40 dengan no. seri 11191149220551. Setelah melakukan top-up, pulsa saya berjumlah Rp. 40.350.

Tidak lama setelah top-up saya registrasi opera mini di Indosat dengan cara ketik *123#, kemudian pilih no 4 (internet & FB, pilih no 9 (paket opera mini), kemudian pilih 3 (buanan). Beberapa saat kemudian saya dapat notifikasi dari 558, “anda telah terdaftar paket bulanan opera mini. Rp 30.000/bulan. Paket akan diperpanjang otomatis. Berhenti ketik UNREG kirim ke 558. CS 021 3502 460.” Logikanya setelah registrasi pulsa saya berkurang 30.000.

Setelah menerima notifikasi tersebut saya mematikan dan menghidupkan kembali hp saya. Selanjutnya, dengan kepercayaan yang sangat tinggi pada INDOSAT yang konon pelanggannya tidak hanya beberapa gelintir tapi berjumlah jutaan, saya mulai browsing dengan browser opera mini. Setelah sekian lama browsing kemudian saya berhenti koneksi internet. Karena penasaran, saya melakukan cek pulsa.

Yang membuat saya takjub di layar hp tertera jumlah pulsa  yang kurang dari 5000. berarti pulsa saya telah berkurang lebih dari Rp. 5000, padahal saya dalam paket opera mini yang biayanya telah dipotong oleh INDOSAT sebesar Rp. 30.000, dan tadi saya browsing dengan opera mini.

Menyadari kemumpunian INDOSAT, naik lah pitam saya. Tak menunggu lama langsung saya hubungi no 100 dari no indosat saya. Alhamdulillah, setelah saya hubungi beberapa kali, tidak juga berhasil. Padahal tiap panggiln pulsa saya dipotong Rp. 400. Tidak apa-apa, hitung-hitung sedekah sama orang kaya.

Saya coba dengan no indosat yang lain. Setelah beberapa kali trial and ERROR, akhirnya berhasil juga terhubung dengan call center.

Panggilan saya diterima oleh Bapak teguh. Setelah ditanya saya terangkan  masalah saya dan kerugian yang saya alami. Apa yang dikatakan Pak teguh membuat saya terkagum kagum, “ Sekarang ini di INDOSAT tidak ada paket Opera mini.”

Sambil berbicara dengan pak teguh saya ulangi prosedur registrasi paket opera mini di *123# di no indosat saya. Dan ternyata paket opera mini itu ada di paket internet dan FB pada no. 9. Saya yakin sekali dengan yang saya lakukan dan saya lihat di layar hp karena waktu itu saya tidak buta huruf dan tidak bodoh bodoh amat. Cuma si amat kali, yah, yang bodoh?

Kemudian saya beri tahu Pak teguh dengan apa yang sedang saya lakukan. Tapi tetap dengan keyakinannya , tenaga call center yang pasti sudah detraining dengan biaya yang tidak murah itu mengatakan bahwa  di INDOSAT tidak ada paket opera mini.

Habis cara untuk meyakinkannya, saya tantang dia untuk mengecek di *123# di hpnya (tenaga call center INDOSAT pasti pegang no INDOSAT kan?) Tapi nampaknya dia enggan melakukan itu. Buang buang waktu saja kali, karena sebagai tenaga call center INDOSAT pasti dia lebih tahu tentang INDOSAT dari pada saya. Saya, kan, Cuma CUSTOMER!

Lalu dia menawarkan untuk mengecek pemakaian pulsa saya hari itu  dan meminta saya untuk menunggu. Setelah menunggu tidak begitu lama tapi membuat tangan saya pegel memegang hand set dan telinga saya mulai panas, suara pak teguh yang memang terkesan sopan itu muncul juga. Selanjutnya dia memberitahukan bahwa hari itu tidak bisa dilakukan pengecekan pemakaian pulsa karena ada sesuatu yang sedang dilakukan dengan system INDOSAT. Jelasnya apa, saya lupa.

Hal lain yang konyol, kalo todak disebut bodoh, Pak teguh menyarankan mengecek status dengan ketik STAT kirim ke 2020. Dan sms jawaban mengatakan, “status anda saat ini adalah paket mentari 50”. Saran itu saya ikuti karena saya tidak mengerti dan Pak teguh meyarankan lebih dari sekali. Dan saya berfikir petugas call center perusahaan sekelas INDOSAT pastilah cerdas dalam berfikir. Dia tidak memberikan penjelasan samar samar dengan hasil cek yang dia telah sarankan.

Selanjutnhya saya Tanya, bagaimana dengan nasib pulsa saya yang terlanjur tertelan? Suara bijak beliau berujar agar saya menghubungi kembali INDOSAT dalam tiga hari, sementara dia menulis laporan keluhan saya.

Tak mau kalah saya balik menuntut INDOSAT yang menghubungi saya. Setelah tarik ulur entah berapa puluh meter, dia menjanjikan bahwa INDOSAT akan menghubungi saya secepatnya setelah laporan saya diproses.

Kata SECEPATNYA adalah sebuah “MAGIC WORD” yang biasanya orang gunakan ketika dia menjanjikan sesuatu tapi tidak bermaksud menepatinya. Maka dari itu, saya tolak magic word yang melenakan itu. Saya ingin yang lebih pasti. Saya minta dia meyebutkan waktu yang lebh spesifik, sehari, tiga hari, sebulan, enam bulan, setahun, seabad!

Kalau saya tadinya diminta untuk menghubungi kembali INDOSAT dalam tiga hari ke depan, sekarang dengan “terpaksa’ dia menjanjikan bahwa petugas INDOSAT akan menghubungi saya paling lambat dalam satu minggu dari hari itu.

Dengan terpaksa pula saya harus mempercayai beliau, walaupun sebenarnya “paling lambat satu minggu” juga bukan lah waktu yang spesifik.

Tapi tetap saya kejar dia. Siapa yang akan menghubungi saya. Dia katakan salah satu petugas INDOSAT. Ketika saya minta dia sendiri yang menghubungi saya, dengan pertimbangan dia akan lebih mengerti persoalan keluhan saya, dia tidak mau menjanjikan itu.

Selanjutnya dia mengucapkan terimakasih pada saya karena telah mempercayai dan menjadi pengguna setia INDOSAT. Saya timpali dengan mengucapkan terimakasih pada INDOSAT karena telah mengucapkan terimakasih pada saya, dan saya sangat menyesal sekali telah mempercayai dan menggunakan INDOSAT. Kemudian panggilan saya akhiri.

Dengan hati yang masih belum matang (baca: mengkel), saya buka lagi sms notifikasi dari 558. kali aja ada informasi yang saya lewatkan. Tapi semua sudah saya lakukan dengan benar.

Untuk menghabiskan kepenasaran, saya bertindak layaknya seorang idiot. Saya matikan hp, dan saya nyalakan lagi. Setelah hp nyala saya cek pulsa: Rp. 1657. Kemudian saya browsing dengan opera mini. Beberapa menit kemudian saya akhiri, dan saya cek lagi pulsa. Alhamdulullah di layar hp tertera angka Rp. 1268.

INDOSAT memang Huebaaaat!

Apa gerangan tindakan cerdas yang akan INDOSAT lakukan untuk mengatasi masalah “kecil” ini. Ya kecil, toh? Saya cuma berbicara tentang uang recehan yang tak sebanding dengan keuntungan berpuluh puluh, berarus ratus, atau mungkin beribu ribu karung rupiah yang tiap tahun INDOSAT raup.

Tapi walau begitu saya yakin saya bukan “the only one”..

Pagi pagi sekali, keesokannya, tgl 20 November 2012, saya masih berfikir dengan STAT kirim ke 2020. Apa iya begitu caranya mengecek paket internet INDOSAT?

Karena penasaran dan untuk menggenapkan kebodohan saya, saya cari cara untuk mengecek paket internet INDOSAT, dan ketemu di *123# dan mengikuti langkah selanjutnya. SMS respon dari 363 jam 04:50 berbunyi, ”Anda terdaftar di Paket paket bulanan opera mini, berlaku sampai 2012-12-19 11:58 dengan status active”.

Jadi sebenarnya, petugas call center yang kepintaran atau otak saya yang terlalu kecil untuk mengimbangi otak raksasa petugas call center dengan pelayanan cerdasnya?

Dengan berbekal sisa pulsa Rp. 1168, saya coba lagi browsing dengan opera mini. Baru beberapa menit koneksi internet terputus.  Dan pulsa saya cek . di latay hp tertera , “pulsa utama Rp. 0,  aktif 19-12-12, tenggang 18-01-13. Bonus pulsa 0…”. Selanjutnya ada iklan games.

Lengkap lah hari hari luar biasa dan cetar membahana bagi saya. Tapi tidak apa. Kalau ada yang sedih pasti ada yang bahagia. Akalau ada yang menangis pasti ada yang tertawa. Karena hal seburuk apa pun bisa menjadi lucu dan membuat orang terbahak bahak, selama kejadian buruk itu terjadi pada orang lain.

Ternyata saya tidak harus menunggu sampai seminggu . tanggal 20 November sekitar jam Sembilan pagi sudah ada orang INDOSAT yang menghubungi saya. RRRRuar biasa. Untuk yang satu ini saya saluuuuut sekali pada INDOSAT.

Insya Allah akan saya tulis lagi pengalaman saya dihibungi  INDOSAT  dalam EPISODE 2.

Salam RRuaaaar Biasa, Bung Teguh!

Rabu, 11 April 2012

Kunjungan ke Masa Kecil

Aku sedang berbaring di salah satu kamar rumah orangtua ku. Sebuah kamar dengan pintu langsung ke luar menghadap timur, tanpa ada jendela. Sebuah rumah kayu dengan dinding bilik yang pada siang hari sering terlihat cahaya matahari memaksa masuk menerobos ke dalam rumah. Sebuah fenomena yang sering menarik perhatian ku.

Dari sebelah selatan terdengar suara riang anak-anak sedang bermain. Ketika mata ku sedikit terbuka. Cahaya matahari memaksa masuk dari sela-sela lubang kecil bilik dan pintu yang sedikit terbuka. Satu cahaya menerpa mataku. Mata ku memincing karena silau.

Di sebelah kiri, pintu masuk yang tanpa daun pintu terlihat cahaya terang masuk dari jendela di ruang tengah yang menghadap ke utara.

Aku bangkit dari berbaring ku dan beranjak menuju pintu yang menuju ke luar yang sedikit terbuka dan aku buka lebar-lebar. Tampak lah sepasang pohon jambu biji, satu di utara dan satu di selatan, mengapit tiga pohon cengkih yang jauh lebik tinggi. Seingat ku dua pohon jambu biji itu sudah ada sejak aku belum sekolah. Mungkin sudah ada sejak aku belum lahir. Walau pun ketiga pohon cengkih yang yang tumbuh ditengah dua pohon itu lebih tinggi, tapi aku masih ingat ketika ayah menanam ketiga bibit pohon cengkih itu beberapa tahun yang lalu. Aku ingat betul, ayah mendapatkan bibit cengkeh itu dari Mang Tisna yang tinggal di sebelah selatan dari rumah kami.

Tapi mengapa rumah ini sepi sekali? Tak ada suara ayah, ibu, kakak-kakak, dan adik ku. Tidak pula terdengar suara aktivitas mereka. Sedangkan suara anak-anak yang sedang bermain masih terdengar sayup-sayup. Tapi entah dari arah mana!

Setelah menutup pintu keluar, aku keluar dari kamar dan menuju ruang tengah. Tak jauh dari pintu, aku menghadap jendela dan menyapukan pandangan ke utara. Mata ku menjelajah tiap sudut. Masih seperti dulu.

Di depan adalah sebuah gang lurus dengan deretan rumah di kanan kiri. Di kiri ada rumah Pak Makmur bersambung dengan rumah yang entah siapa pemiliknya sekarang, rumah Ujang Rosid teman SMP ku dan sebuah masigit, atau tepatnya sebuah mushola kecil tempat aku belajar mengaji dan bercanda ketika sedang solat tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beberapa rumah yang sekarang penghuninya sudah tiada, dan berakhir di sebuah kebun milik Ma Anah. Sedangkan dibalik kebun yang dipagar kayu tinggi adalah sebidang tanah yang dulunya milik Ma Anah juga. Tempat dulu aku bermain.

Aku masih ingat waktu itu ditengah bidang tanah di balik pagar kayu tinggi, yang dulunya milih Mak Anah itu ada sebuah pohon kemiri yang besar dan tinggi. Batangnya yang menancap kuat ke bumi besarnya menandingi tubuh seekor kerbau.

Pernah suatu hari waktu hari sedang gerimis sehabis hujan besar, aku, dan teman-teman  bermain di sana. Gerimis dan udara dingin yang menggigilkan tubuh kami tidak kami pedulikan. Kami sibuk mencari kemiri yang jatuh dari pohonnya, dan setelah menemukannya dengan susah payah kami memecahkan cangkang dan tulangnya yang sangat keras, kemudian kami memakannya.

Entah sudah berapa banyak daging kemiri yang masuk ke dalam perut kami, tapi yang terang ketika aku sampai ke rumah, kepalaku pusing-pusing bak mabuk laut. Perutku terasa diaduk-aduk dan berakhir dengan keluarnya seluruh isi perutku, yang sebagian besar adalah pecahan-pecahan kemiri yang tidak tercerna dengan sempurna.

Tapi setelah tanah itu berpindah tangan, pohon kemiri yang merupakan pohon terbesar dan tertinggi kedua di kampung kami itu sudah rata dengan tanah —pohon tertinggi pertama adalah sebuah pohon Lame yang berdiri kokoh di tengah pekuburan yang tidak begitu luas, pohon itu masih bisa terlihat dari jarak belasan kilo meter. Dan sebagai gantinya, berdirilah sebuah rumah yang terbilang cukup mewah untuk ukuran kampung kami waktu itu dan sebuah mesjid yang cuku megah pula.

Di sebelah kanan gang adalah deretan rumah keluarga Nek Limah dan beberapa rumah lainnya yang juga sudah berpindah tangan ke orang dari luar kampung kami.

Kusapukan mata ku lebih ke kanan dan pohon jambu biji dan salah satu pohon cengkih pun terlihat. Beberapa butir jambu yang sudah mendekati matang, dan dua tiga butir yang sudah berwarna keemasan masih tersisa. Rupanya musim jambu biji baru saja berakhir. Tapi biasanya sisa jambu setelah musimnya berakhir justru lebih lezat dan lebih manis rasanya.

Ku balikan badan dan berjalan menuju tepas (ruang tamu). Belum sampai di tepas aku sedikit merubah arah ke sebelah kanan menuju kamar kakak ku yang kosong. Masih seperti dulu. Dipan kayu kecil dan selimut tebal berwarna merah hati  penghangat tubuh di malam hari masih ada di sana.

Aku terus berjalan menuju jendela. Oh, ya kamar yang satu ini terbilang “mewah”. Selain posisi nya dekat ruang tamu kamar ini memiliki jendela yang bisa dibuka tutup seperti yang terdapat di ruang tengah. Keadaan masih tetap sama seperti lebih dari duapuluh lima tahun yang lalu. Di depan mata adalah sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah penduduk dengan jalan desa yang jaraknya cuma puluhan meter ke jalan desa itu.

Di sebelah kanan adalah rumah Ua Ace, dan di seberang jalan setapak adalah sebuah kebun yang digarap ayahku walaupun ayah tidak menggarap kebun itu secara professional, yang artinya beliau tidak menanam tanaman komersial yang bisa menghasilkan uang tapi cuma ditanam seadanya seperti pisang, ketela, waluh, roay, dan pohon-pohon lainnya seperti jambu air, mangga, dan yang lainnya yang tumbuh dengan sendirinya. Sedangkan pemiliknya tinggal beberapa kilo meter dari rumah kami.

Setelah beberapa saat mengamati, aku keluar dari kamar dan masuk ke ruang tamu. Tampaklah beberapa buah kursi kayu dengan kombinasi lilitan rotan yang sangat sederhana menghiasi ruang tamu. Ku teruskan menuju pintu. Ketika pintu terbuka, terhirup lah udara segar dan dingin. Kayaknya sedang musim hujan. Walau pun tidak sedang hujan aku masih bisa melihat tanah yang basah dan pohon-pohon dan tanaman lainnya yang subur menghijau.

Ku langkahkan kaki menuju jalan setapak dan berbelok ke kiri. Beberapa langkah saja dan aku sudah sampai ke dekat pohon jambu klutuk yang menjadi saksi perjalanan hidupku dari sejak aku lahir sampai aku menjelang dewasa. Belum apa-apa, manis dan lezat nya buah jambu biji sudah sampai di bibir dan lidah ku. kesegaran dan kenikmatan menjalari tenggorokanku.

Seperti pohon yang di sebelah utara pohon yang ini pun masih menyisakan beberapa butir jambu yang sudah layak dipetik. Butirannya tidak begitu besar-besar. Dan memang seigat ku pohon yang ini buahnya tidak sebesar yang di sebelah utara. Tapi soal rasa? Tidak kalah!

Aku tidak tahan dengan godaan untuk menikmati keseksian buah dari pohon yang sudah menjadi temanku sejak aku ingat hadir di dunia ini.

Tak memerlukan banyak tenaga untuk memanjat pohon itu karena memang pohon itu tidak begitu tinggi. Beberapa hentakan saja dan aku sudah berdekatan dengan jambu-jambu yang dari tadi menerbitkan air liur ku itu.

Ku raih satu yang masih hijau kekuningan. Tanpa dibersilkkan langsung ku masukan ke mulut, ku gigit, dan ku kunyah. Hmmm… nikmatnya masih seperti dulu. Rasa manis dipadu sedikit asam menjalar ke seluruh tubuh ku. Dua butir jambu ukuran sedang sudah memenuhi rongga perutku.

Aku sudah kembali turun dan sudah di bawah pohon kemudian berjalan menuju ke utara. Tiga buah pohon cengkih yang sedang berbunga tapi belum waktunya untuk dipanen sudah terlewat dan sekarang aku sudah dekat pohon jambu lainnya. Pohon yang ini memang lebih tinggi dari yang di sebelah selatan karena memang kelihatannya berumur lebih tua.

Dua butir jambu yang sudah menghuni perutku tidak mampu menyurutkan kerinduan dan dahaga ku akan masa kecil ku. Tidak menunggu lebih lama, aku memanjat dan sudah duduk di sebuah cabang kemudian terdiam sejenak untuk mengenang masa kecil ku dimana aku sering melakukan hal yang sama di pohon dan cabang yang sama.

Ku tengok ke arah kiri dan terlihatlah sebutir jambu yang lumayan besar. Rupanya seekor kelelawar telah meninggalkan jejak di jambu dan ikut merasakan nikmatnya buah itu. Beberapa bekas gigitan terlihat di beberapa bagian buah itu. Biasanya jambu yang telah digigit kelelawar akan cepat matang. Aku pernah mencoba untuk membuktikan teori itu beberapa kali. Aku pernah mencoba menggigit jambu yang masih hijau dan dua tiga hari kemudian hasilnya sudah terlihat. Jambu itu menguning dan kemudian matang.

Ku raih jambu itu dan setelah menemukan bagian yang tidak ada bekas gigitan kelelawar, ku gigit. Kenikmatan memenuhi rongga mulutku. Terima kasih kelelawar. Kau telah menyisakan kenikmatan ini untuk ku.

Beberapa saat kemudian kakiku sudah menginjak tanah. Satu hal masih menjadi tanda Tanya bagiku. Tidak terdengar suara orang bicara dan terlihat siapa pun padahal gang dekat pohon jambu ini sering dilalui orang dari dan menuju jalan desa. Tapi keadaan lingkungan sama persis seperti lebih dari duapuluh lima tahun yang lalu.

Langkah kaki ku membawa ku ke warung Ceu Titi. Di warung Ceu titi sedang menggoreng bala-bala (bakwan), makanan yang jamak menjadi jajanan di kampung ku. Dia melirik ku. Tidak ada keterkejutan di matanya ketika melihat ku. Apa di matanya aku masih terlihat seperti anak umur belasan tahun?

“Ceu, beli bala-balanya,” kata ku. “harganya berapa?

“seratus rupiah”, timpalnya.

Seratus rupiah? Sebuah harga yang di tahun 2012 ini tidak mungkin. Rata-rata harga bakwan sekarang sekitar seribu rupiah dan masih bisa lebih. Ada sih pedagang yang masih menjualnya dengan harga limaratus rupiah, tapi ukurannya tidak jauh beda dengan kelereng mainan anak-anak.

Aku bermaksud membeli dua atau tiga biji saja, tapi mengingat harganya yang cuma seratus perak, sekarang aku bermaksud beli 10 biji. Ketika ku rogoh saku celanaku di tangan ku adalah pecahan dua ribuan. Pecahan uang yang dua puluh tahun yang lalu hal yang mustahil. Sekarang aku menjadi ragu. Apakah dia akan menerima uang abad-21?

Dalam keadaan bingung, dan belum sempat sebuah bala-bala pun ku cicipi, tiba-tiba aku merasa sedang berbaring. Cahaya matahari memaksa ku memncingkan mata. Dan ketika mataku terbuka ternyata aku aku sedang di ruang depan rumahku, berbaring di atas selembar karpet.

Subhanalloh. Terima kasih ya Allah. Kau telah membawa ku kembali ke masa kecil ku. Ke tempat yang paling ku rindukan. Walau pun sekarang rumah dan lingkungan di kampung masa kecil ku sudah berubah sama sekali. Tapi kenangan indah itu tak akan lepas dari garis kehidupan ku.

Alhamdulillah!

Jakarta 29 Maret 2012