Daftar Blog Saya

Senin, 28 Januari 2013

Makannya Jangan Pake Mulut! (?)


Setelah melakukan aktivitas fisik, sabangsaning senam, game, lulumpatan de el el, nampak anak-anak TK Al’Amanah itu pada kelelahan, malahan ada yang hokcay sagala.

Tapi, habis gelap terbit lah  terang, walau pun sedari tadi memang terang benderang. Setelah aktivitas yang melelahkan akan ada kegiatan yang menyenangkan. Seperti biasa hidangan makanan dan minuman menanti untuk disikat.

Ketika disuruh antri  untuk mengambil mamin, anak anak serentak berbaris mendekati rapi. Masing masing ingin menjadi yang terdepan dalam barisan, persis seperti barisan caleg DPR yang pahibut, paburu buru ingin mendapatkan sofa empuk dengan pengorbanan mencapai ratusan juta sampai miliaran rupiah. Lieur tidak tuh!

Walau pun tidak seseksi kursi empuk DPR, DPRD atau pun kepala daerah, kali ini sepotong roti dan secangkir bubur kacang ijo cukup menggugah selera dan sanggup mengundang tetes air liur anak-anak ini.

Dengan tak sabar mereka berbaris dengan perkakas nya masing masing, gelas plastik dan sendok. Bubur kacang yang  masih ngebul membangkitkan syahwat perut si buyung dan si upik.

Sambil antri mereka recok seperti sekumpulan bebek yang menanti ditebar gabah dan cincangan ikan limbah dari pabrik pengolahan ikan.

Salah seorang dari mereka berteriak, “Bu, saya belum kebagian, Bu. Lapar nih!”. Semuanya juga lapar kaleeeee!

Yang lain tak mau kalah keras berteriak, “Saya nggak mau rotinya, Bu. Kacang ijonya saja.”

Di barisan bagian belakang  terdengar suara seorang anak perempuan, “Bu, Rehan narik narik kerudung saya, Bu!”. Sambil lewa lewe mau nangis.

Dan banyak lagi kelakuan anak-anak yang lucu, pikaseurien, menguras tenaga Ibu Guru, dan yang mendekati pikasebeleun, atau apa pun namaya, terutama ketika seorang anak laki-laki sambil megangin bagian belakang celananya  memanggil manggil gurunya, “Bu, Alul ee dicelana, Bu!”

Begitu lah dinamika ngurus bebenyit di TK. Sangat melelehkan fisik dan fikiran. Tapi dua orang ibu guru itu tetap sabar dan telaten menghadapi mereka dan bertindak sesuai situasi yang berlangsung. Termasuk ketika salah seorang dari dua guru itu nyeumpal tangan Syahrul dan membawanya ke kamar madi.

Barisan sudah menipis. Hanya tinggal tersisa dua orang lagi. Dan ahirnya semua anak sibuk dengan kacang ijo dan roti bagiannya masing masing, termasuk Syahrul yang sedang cacamuilan ngahuapkeun roti ke mulut. Sedangkan celananya? Sudah berganti kain sarung dengan kaos olahraga bagian belakang agak basah.

Tapi tetap saja yang namanya bocah, ya tetep bocah. Mulut mulut kecil yang sedang dijejali kacang ijo dan roti itu pantang berhenti mengeluarkan suara. Hampir semua ikut berpartisipasi menciptakan irama seindah master pis nya Bithopen.

“Alhammdulillah, ahirnya selesai”, Bu Mumun, salah seorangguru, ngageregdeng sambil memperhatikan Aldi yang sedang ngepret ngepret sendoknya. Tayohna mah sendok itu jatuh ke tanah dan selanjutnya dia ambil dan dia kepret kepret untuk menghilangkan kotoran pasir yang menempel di sendok.

Gerewek dari samping Aldi ada yang ngagerewek, “Bu  Ai, Aldi ngotorin baju aku!”. Hilda ngeprak ngeprak lengan bajunya. Bukannya menjadi bersih, malah jadi tambah kotor. Nampaknya sendok Aldi yang dikepret kepret telah menodai bagian baju Hilda. Sedangkan Aldi hanya cungar cengir saja mendapati temannya yang tanpa sengaja dia dolimi itu.

“Aldi, bukan dikibas kibas begitu. Dicuci sendoknya.”  Bu Ai bereaksi terhadap apa yang terjadi sambil menuntun Aldi ke dekat keran untuk mencuci sendoknya yang kotor.

Sedangkan Bu Mumun ngupahan Hilda yang lagi nginghak kanyenyerian alatan lengan bajunya yang menjadi kotor.

Ternyata “selesai” atinya belum selesai. Walaupun sekarang situasi mulai aman dan hampir terkendali. Paling tidak, yang nangis sudah berhenti, yang ngepret ngepret sendok sudah terduduk kekenyangan, dan yang terpenting, tidak ada lagi yang ee di celana.

Tapi mulut anak akan tetep saja pada baceo sagala diomongkeun sambil makan minum, teh.

Jangar juga kepala Bu Mumun dan Bu Ai.

Untuk, setidaknya, meredakan volume suara anak anak, Bu Ai nyelengkeung, “Makannya jangan pake mulut, yah!”

Untuk sebentaran anak anak meredakan volume suaranya bahkan ada yang berhenti bicara saheulaanan sambil silih reret dengan temannya. Tapi, beberapa detik kemudian situasi kembali seperti sebelum Bu Ai bicara pada mereka.

Tanpa diprediksi sebelumnya, celengkeung, teh, seorang anak berdiri dan bicara sambil kerung sama Bu Ai, “Kok, makan nggak pake mulut, Bu?”

Suara anak itu tidak terlalu keras namun jelas. Tapi di telinga Bu Ai terdengar sepert suara gelap ngampar rubak naker, lebih lebar dari permadani Turki yang paling lebar. Dan pasti lebih lebar dari manusia yang paling lebar.

Yang membuat situasi tambah genting adalah ketika hampir semua pandangan anak-anak terarah ke Bu Ai. Pandangan yang benar benar fokus, yang paling dia dambakan ketika beliau berdiri di depan kelas. Tapi kali ini?

Bu Ai keom!

Bu Mumun sama Bu Ai, “…#@%$^&ζйᾔ!!??...”