Pandemi Covid-19 telah mewarnai kehidupan dunia selama kurang lebih tiga tahun, tak terkecuali negeri tercinta Indonesia. Sampai 15 Januari 2023 pantauan corona.jakarta.go.id masih mencatat lebih dari 6.700.000 kasus positif di seantero Indonesia, dengan lebih dari 7000 kasus aktif, lebih dari 6.500.000 yang sembuh dan 160.000 lebih kasus meninggal.
Ketika dampak pandemi terasa benar dimana-mana terutama di
kota-kota besar, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun diambil, dan yang pertama diterapkan pada bulan April 2020. Alhasil, selain kesehatan benar-benar
dihajar, ekonomi pun terkapar, sedangkan dunia pendidikan menjadi limbung, dan kehidupan
sosial benar-benar terkekang. Satu lagi, dan ini sangat menyakitkan bagi
mayoritas masyarakat religious di negeri ini, yaitu pembatasan ibadah. Dampaknya
gereja-gereja merana tanpa Jemaah, mesji-mesjid sepi penghuni, sejumlah
pura dan vihara terabai, dan kelenteng-kelenteng terkerangkeng. Selanjutnya
ketika angka positif covid menurun diterapkanlah kelonggaran untuk melakukan
ibadah di rumah ibadah sengan penerapan jaga jarak.
Secara keseluruhan budaya masyarakat pun berubah drastis. Sebagai masyarakat communal yang senang nongkrong bareng, kita tidak bisa lagi lihat sekumpulan orang bergadang di pos ronda sambil main gitar dan nyanyi-nyanyi atau main gaple. Sebagian besar jalan lingkungan dan gang pun malah diportal. Tidak sembarang orang boleh lewat. Tiap ada pendatang melintas, dia akan “diinterogasi”. Semua mencurigai semua.
Contoh di atas berlaku untuk orang kebanyakan kelompok ekonomi pas-pasan. Untuk kelompok ekonomi langitan, mereka tidak bisa menghabiskan waktu di cafe-cafe, mall-mall, dan pub-pub. Semua tempat itu pun tak luput dari penutupan selama pandemi, walau pun banyak pula yang nakal dengan terus buka. Mungkin karena permintaan tetap ada dan mereka pun tetap butub pemasukan untuk kebutuhan karyawan, dapur, de el el.
Sebelum pandemi, sebagian orang ada yang mempertanyakan dan mempertentangkan burkah karena penggunaan penutup muka itu (untuk perempuan muslim) dianggap menyamarkan tiap individual dan sebagai bentuk penindasan (?) terhadap perempuan. Tapi pada saat pandemi kita tidak bisa mengenali sebagian besar tetangga sendiri karena, selain gang-gang dan jalan-jalan, wajah mereka pun diportal pula dengan “penangkal virus” yang harganya sempat tidak masuk akal. Kali ini bukan cuma perempuan, laki-laki pun sama. Malah penggunaanya diwajibkan!
Sementara itu sanitizer menjadi komoditas primaadona yang menggiurkan, sementara sebagian besar komoditas
lain pada tiarap. Berapa pun harganya orang akan memaksakan diri membeli barang yang satu ini, selain tentunya masker.
Sebelum pandemi, belajar online
sudah dikenal, terutama untuk home schooling dan perkuliahan untuk mahasiswa
yang juga karyawan, tapi perguruan tinggi dan sekolah pada umumnya tidak banyak
melakukan pembelajaran dengn cara ini. Sebaliknya pada saat pandemi semua
proses pendidikan dipaksa dialihkan dari ruang kelas ke dunia maya—tapi tidak
sempat diungsikan sampai ke dunia gaib!
Dunia kerja yang dipaksa menutup rapat-rapat kantornya juga idem ditto. Mereka melakukan sebagian
besar pekerjaan dengan cara jarak jauh pula walaupun tidak semua pekerjaan bisa
dilaksanakan dengan cara ini.
Tapi perubahan yang satu ini, yaitu aktivitas online, berdampak
sangat positif. Para karyawan, mahasiswa, sampai guru dan siswa sekolah menjadi
melek teknologi. Dan hasilnya portal-portal
seperti Zoom dan G-meet naik daun muda. Bahkan sampai dampak pandemic mulai
menurun pun kerja dan pembelajaran jarak jauh terus berlanjut walaupun
intensitasnya otomatis menurun.
Bukan hanya dunia kerja dan pendidikan saja, budaya belanja
pun beralih dari warung dan toko serta pasar tradisional ke warung, toko dan
pasar artifisial. Sebelumnya hanya belanja seperti pakaian dan elektronik saja yang
lumrah dilakukan secara online. Tapi
pasa saat pandemi, membeli nasi uduk yang biasa dibeli di pengkolan, dan bahan
membuat sayur asem, seperti yang dijual di warung Mpok Mumun untuk makan siang pun, harus dilakukan
secara online. Dan hal itu berlanjut
sampai saat ini. Untuk meninkmati semangkok seblak atau sekotak martabak saja
misalnya hanya dilakukan dengan hanya pencet-pencet HP. Dari awalnya karena
terpaksa, sekarang jadi budaya. Ijab kabul jual beli pun dilakukah di perangkat yang sama tanpa ada pertemuan penjual dan pembeli secara langsung.
Dampak positif dari yang terakhir ini adalah semua orang
bisa berdagang tanpa harus sewa tempat yang cenderung mahal. Taka da alasan tak
bisa berjualan! Pembeli pun bisa membandingkan harga barang di toko yang satu dengan yang lainya dengan mudah tanpa harus mengeluarkan energi yang banyak dan pengeluaran ongkos transportasi pun bisa bernilai nol. Disamping pembeli bisa mendapatkan barang dengan harga murah, waktu pun tak banyak tersita. Sambil bekerja di kantor atau mengerjakan perkerjaan di rumah, belanja pun bisa terlaksana.
Di tahun baru ini, 2023, banyak orang tidak bisa terpisahkan dari penggunaan masker. Walaupaun masker sudah tidak wajib dipakai di tempat-tempat umum terbuka--kecuali tempat-tempat umum tertutup tertentu yang masih mewajibkan pengunjung mengenakan masker. Ada orang yang merasa tidak nyaman kalau keluar rumah tanpa masker karena sudah terbiasa memakainya.
Jadi ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi berkepanjangan ini. Dengan memakai masker, kita juga menutup aurat, dan itu adalah kewajiban dalam Islam. Tak ada ruginya ketika kita menutup aurat. Bahkan itu adalah kebutuhan setiap orang. Menutup aurat adalah sebagai perlindungan preventif. Nafsu memperlihatkan perhiasan bisa lebih dikendalikan, godaan bisa diminimalisir, dan kemungkinan ancaman dari luar pun bisa ditekan.
Selanjutnya, agama mengajarkan kita untuk menjaga jarak dalam pergaulan terutama dalam hungan manusia dengan manusia. Ketika kita bergaul dengan orang yang bukan muhrim, ada beberapa perilaku yang harus dihindari, seperti bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Kalau dengan alasan kesehatan (baca: memutus rantai virus corona) kita sanggup dan tidak keberatan sama sekali menjaga jarak dengan orang lain, asanya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mentaati perintah agama. Selain kita menutup aurat, kita juga harus menjaga jarak. Ada atau pun tidak ada virus. Walaupun jaga jarak disini sekarang berarti kita harus membuat hijab (baca: tabir/dinding) dari pandangan yang akan menjerumuskan. Sedangkan cara-cara beribadah, misalnya, kembali ke aturan agama seperti semula.
Kemudian untuk hal cuci tangan, setidaknya sejak saya usia SD, saya sering mendengar istilah "Kebersihan sebagian dari Iman". Itu saya artikan semakin tinggi keimanan seseorang maka semakin besar lah perhatian dia terhadap kebersihan. Betapa tidak dalam agama yang saya anut, setiap kita mengerjakan ibadah kita wajib dalam keadaan suci dengan cara berwudhu, terutama sebelum mengerjakan ibadah lima waktu. Sebelum membaca Al-Qur'a pun kita dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu walaupaun tidak bersifat wajib.
Selama pandemi kita dianjurkan untuk mencuci tangan setelah melakukan aktivitas apa paun. Bahkan kantor-kantor pemerintah maupun swasta diwajibkan untuk menyediakan sanitizer untuk keperluan tersebut, selain menyediakan air tentunya. Setelah pandemi mulai berkurang kebiasaan ini masih terbawa oleh sebagian besar masyarakat sampai saat ini.
Yang tidak kalah penting, ketika manusia dalam keadaan tertekan maka kekuatan mereka akan berlipatganda. Ketika pandemi menghantam memang sebagian besar masyarakat banyak dirugikan karena kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan sampai kehilangan pemasukan sama sekali. Tapi banyak diantara mereka yang menemukan dunia baru yang tidak terfikirkan sebelumnya. Karena didesak kebutuhan, otak mereka berfikir lebih keras dan lebih kreatif. Hasilnya, banyak yang bisa menemukan bidang baru, dari pekerjaan secara virtual sampai membangun bisnis baru. Mereka yang bisa mengalir dengan sungai perubahan dan yang bisa bergerak seirama dengan musik yang dimainkan, akan survive dan mungkin bisa menemukan dunia baru yang jauh lebih baik dari yang mereka bayangkan, katakan lah lebih baik dari waktu normal sebelum pandemi menyerang.
Begitulah, Allah telah menentukan takdir dan kita lah yang harus merubahnya. Tak ada yang sia-sia dari setiap peristiwa. Allah berulang kali memerintahkan kita untuk menggunakan akal kita. Menurut tafsir.com, ada 71 ayat bertag "perintah untuk berfikir" dalam Al-Qur'an ,yang diantaranya "...Afalaa tatadakkaruun (Al-An'am:32)". ...Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?