Dari sebelah selatan terdengar suara riang anak-anak sedang bermain. Ketika mata ku sedikit terbuka. Cahaya matahari memaksa masuk dari sela-sela lubang kecil bilik dan pintu yang sedikit terbuka. Satu cahaya menerpa mataku. Mata ku memincing karena silau.
Di sebelah kiri, pintu masuk yang tanpa daun pintu terlihat cahaya terang masuk dari jendela di ruang tengah yang menghadap ke utara.
Aku bangkit dari berbaring ku dan beranjak menuju pintu yang menuju ke luar yang sedikit terbuka dan aku buka lebar-lebar. Tampak lah sepasang pohon jambu biji, satu di utara dan satu di selatan, mengapit tiga pohon cengkih yang jauh lebik tinggi. Seingat ku dua pohon jambu biji itu sudah ada sejak aku belum sekolah. Mungkin sudah ada sejak aku belum lahir. Walau pun ketiga pohon cengkih yang yang tumbuh ditengah dua pohon itu lebih tinggi, tapi aku masih ingat ketika ayah menanam ketiga bibit pohon cengkih itu beberapa tahun yang lalu. Aku ingat betul, ayah mendapatkan bibit cengkeh itu dari Mang Tisna yang tinggal di sebelah selatan dari rumah kami.
Tapi mengapa rumah ini sepi sekali? Tak ada suara ayah, ibu, kakak-kakak, dan adik ku. Tidak pula terdengar suara aktivitas mereka. Sedangkan suara anak-anak yang sedang bermain masih terdengar sayup-sayup. Tapi entah dari arah mana!
Setelah menutup pintu keluar, aku keluar dari kamar dan menuju ruang tengah. Tak jauh dari pintu, aku menghadap jendela dan menyapukan pandangan ke utara. Mata ku menjelajah tiap sudut. Masih seperti dulu.
Di depan adalah sebuah gang lurus dengan deretan rumah di kanan kiri. Di kiri ada rumah Pak Makmur bersambung dengan rumah yang entah siapa pemiliknya sekarang, rumah Ujang Rosid teman SMP ku dan sebuah masigit, atau tepatnya sebuah mushola kecil tempat aku belajar mengaji dan bercanda ketika sedang solat tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beberapa rumah yang sekarang penghuninya sudah tiada, dan berakhir di sebuah kebun milik Ma Anah. Sedangkan dibalik kebun yang dipagar kayu tinggi adalah sebidang tanah yang dulunya milik Ma Anah juga. Tempat dulu aku bermain.
Aku masih ingat waktu itu ditengah bidang tanah di balik pagar kayu tinggi, yang dulunya milih Mak Anah itu ada sebuah pohon kemiri yang besar dan tinggi. Batangnya yang menancap kuat ke bumi besarnya menandingi tubuh seekor kerbau.
Pernah suatu hari waktu hari sedang gerimis sehabis hujan besar, aku, dan teman-teman bermain di sana. Gerimis dan udara dingin yang menggigilkan tubuh kami tidak kami pedulikan. Kami sibuk mencari kemiri yang jatuh dari pohonnya, dan setelah menemukannya dengan susah payah kami memecahkan cangkang dan tulangnya yang sangat keras, kemudian kami memakannya.
Entah sudah berapa banyak daging kemiri yang masuk ke dalam perut kami, tapi yang terang ketika aku sampai ke rumah, kepalaku pusing-pusing bak mabuk laut. Perutku terasa diaduk-aduk dan berakhir dengan keluarnya seluruh isi perutku, yang sebagian besar adalah pecahan-pecahan kemiri yang tidak tercerna dengan sempurna.
Tapi setelah tanah itu berpindah tangan, pohon kemiri yang merupakan pohon terbesar dan tertinggi kedua di kampung kami itu sudah rata dengan tanah —pohon tertinggi pertama adalah sebuah pohon Lame yang berdiri kokoh di tengah pekuburan yang tidak begitu luas, pohon itu masih bisa terlihat dari jarak belasan kilo meter. Dan sebagai gantinya, berdirilah sebuah rumah yang terbilang cukup mewah untuk ukuran kampung kami waktu itu dan sebuah mesjid yang cuku megah pula.
Di sebelah kanan gang adalah deretan rumah keluarga Nek Limah dan beberapa rumah lainnya yang juga sudah berpindah tangan ke orang dari luar kampung kami.
Kusapukan mata ku lebih ke kanan dan pohon jambu biji dan salah satu pohon cengkih pun terlihat. Beberapa butir jambu yang sudah mendekati matang, dan dua tiga butir yang sudah berwarna keemasan masih tersisa. Rupanya musim jambu biji baru saja berakhir. Tapi biasanya sisa jambu setelah musimnya berakhir justru lebih lezat dan lebih manis rasanya.
Ku balikan badan dan berjalan menuju tepas (ruang tamu). Belum sampai di tepas aku sedikit merubah arah ke sebelah kanan menuju kamar kakak ku yang kosong. Masih seperti dulu. Dipan kayu kecil dan selimut tebal berwarna merah hati penghangat tubuh di malam hari masih ada di sana.
Aku terus berjalan menuju jendela. Oh, ya kamar yang satu ini terbilang “mewah”. Selain posisi nya dekat ruang tamu kamar ini memiliki jendela yang bisa dibuka tutup seperti yang terdapat di ruang tengah. Keadaan masih tetap sama seperti lebih dari duapuluh lima tahun yang lalu. Di depan mata adalah sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah penduduk dengan jalan desa yang jaraknya cuma puluhan meter ke jalan desa itu.
Di sebelah kanan adalah rumah Ua Ace, dan di seberang jalan setapak adalah sebuah kebun yang digarap ayahku walaupun ayah tidak menggarap kebun itu secara professional, yang artinya beliau tidak menanam tanaman komersial yang bisa menghasilkan uang tapi cuma ditanam seadanya seperti pisang, ketela, waluh, roay, dan pohon-pohon lainnya seperti jambu air, mangga, dan yang lainnya yang tumbuh dengan sendirinya. Sedangkan pemiliknya tinggal beberapa kilo meter dari rumah kami.
Setelah beberapa saat mengamati, aku keluar dari kamar dan masuk ke ruang tamu. Tampaklah beberapa buah kursi kayu dengan kombinasi lilitan rotan yang sangat sederhana menghiasi ruang tamu. Ku teruskan menuju pintu. Ketika pintu terbuka, terhirup lah udara segar dan dingin. Kayaknya sedang musim hujan. Walau pun tidak sedang hujan aku masih bisa melihat tanah yang basah dan pohon-pohon dan tanaman lainnya yang subur menghijau.
Ku langkahkan kaki menuju jalan setapak dan berbelok ke kiri. Beberapa langkah saja dan aku sudah sampai ke dekat pohon jambu klutuk yang menjadi saksi perjalanan hidupku dari sejak aku lahir sampai aku menjelang dewasa. Belum apa-apa, manis dan lezat nya buah jambu biji sudah sampai di bibir dan lidah ku. kesegaran dan kenikmatan menjalari tenggorokanku.
Seperti pohon yang di sebelah utara pohon yang ini pun masih menyisakan beberapa butir jambu yang sudah layak dipetik. Butirannya tidak begitu besar-besar. Dan memang seigat ku pohon yang ini buahnya tidak sebesar yang di sebelah utara. Tapi soal rasa? Tidak kalah!
Aku tidak tahan dengan godaan untuk menikmati keseksian buah dari pohon yang sudah menjadi temanku sejak aku ingat hadir di dunia ini.
Tak memerlukan banyak tenaga untuk memanjat pohon itu karena memang pohon itu tidak begitu tinggi. Beberapa hentakan saja dan aku sudah berdekatan dengan jambu-jambu yang dari tadi menerbitkan air liur ku itu.
Ku raih satu yang masih hijau kekuningan. Tanpa dibersilkkan langsung ku masukan ke mulut, ku gigit, dan ku kunyah. Hmmm… nikmatnya masih seperti dulu. Rasa manis dipadu sedikit asam menjalar ke seluruh tubuh ku. Dua butir jambu ukuran sedang sudah memenuhi rongga perutku.
Aku sudah kembali turun dan sudah di bawah pohon kemudian berjalan menuju ke utara. Tiga buah pohon cengkih yang sedang berbunga tapi belum waktunya untuk dipanen sudah terlewat dan sekarang aku sudah dekat pohon jambu lainnya. Pohon yang ini memang lebih tinggi dari yang di sebelah selatan karena memang kelihatannya berumur lebih tua.
Dua butir jambu yang sudah menghuni perutku tidak mampu menyurutkan kerinduan dan dahaga ku akan masa kecil ku. Tidak menunggu lebih lama, aku memanjat dan sudah duduk di sebuah cabang kemudian terdiam sejenak untuk mengenang masa kecil ku dimana aku sering melakukan hal yang sama di pohon dan cabang yang sama.
Ku tengok ke arah kiri dan terlihatlah sebutir jambu yang lumayan besar. Rupanya seekor kelelawar telah meninggalkan jejak di jambu dan ikut merasakan nikmatnya buah itu. Beberapa bekas gigitan terlihat di beberapa bagian buah itu. Biasanya jambu yang telah digigit kelelawar akan cepat matang. Aku pernah mencoba untuk membuktikan teori itu beberapa kali. Aku pernah mencoba menggigit jambu yang masih hijau dan dua tiga hari kemudian hasilnya sudah terlihat. Jambu itu menguning dan kemudian matang.
Ku raih jambu itu dan setelah menemukan bagian yang tidak ada bekas gigitan kelelawar, ku gigit. Kenikmatan memenuhi rongga mulutku. Terima kasih kelelawar. Kau telah menyisakan kenikmatan ini untuk ku.
Beberapa saat kemudian kakiku sudah menginjak tanah. Satu hal masih menjadi tanda Tanya bagiku. Tidak terdengar suara orang bicara dan terlihat siapa pun padahal gang dekat pohon jambu ini sering dilalui orang dari dan menuju jalan desa. Tapi keadaan lingkungan sama persis seperti lebih dari duapuluh lima tahun yang lalu.
Langkah kaki ku membawa ku ke warung Ceu Titi. Di warung Ceu titi sedang menggoreng bala-bala (bakwan), makanan yang jamak menjadi jajanan di kampung ku. Dia melirik ku. Tidak ada keterkejutan di matanya ketika melihat ku. Apa di matanya aku masih terlihat seperti anak umur belasan tahun?
“Ceu, beli bala-balanya,” kata ku. “harganya berapa?
“seratus rupiah”, timpalnya.
Seratus rupiah? Sebuah harga yang di tahun 2012 ini tidak mungkin. Rata-rata harga bakwan sekarang sekitar seribu rupiah dan masih bisa lebih. Ada sih pedagang yang masih menjualnya dengan harga limaratus rupiah, tapi ukurannya tidak jauh beda dengan kelereng mainan anak-anak.
Aku bermaksud membeli dua atau tiga biji saja, tapi mengingat harganya yang cuma seratus perak, sekarang aku bermaksud beli 10 biji. Ketika ku rogoh saku celanaku di tangan ku adalah pecahan dua ribuan. Pecahan uang yang dua puluh tahun yang lalu hal yang mustahil. Sekarang aku menjadi ragu. Apakah dia akan menerima uang abad-21?
Dalam keadaan bingung, dan belum sempat sebuah bala-bala pun ku cicipi, tiba-tiba aku merasa sedang berbaring. Cahaya matahari memaksa ku memncingkan mata. Dan ketika mataku terbuka ternyata aku aku sedang di ruang depan rumahku, berbaring di atas selembar karpet.
Subhanalloh. Terima kasih ya Allah. Kau telah membawa ku kembali ke masa kecil ku. Ke tempat yang paling ku rindukan. Walau pun sekarang rumah dan lingkungan di kampung masa kecil ku sudah berubah sama sekali. Tapi kenangan indah itu tak akan lepas dari garis kehidupan ku.
Alhamdulillah!
Jakarta 29 Maret 2012