Daftar Blog Saya

Kamis, 29 November 2012

Curug Cinulang Cicalengka


Agustus kemarin tahun ini ketika saya berada di Bandung untuk beberapa hari, ada kesempatan untuk mengunjungi tempat yang terahir saya kunjungi 15 tahun yang lalu.  Seperti bulan lalu, ketika itu musim kemarau panjang yang memeras keringat.

Ada kemajuan positif yang saya temui. Jalan dari Stasion kereta Cicalengka menuju Curug sudah mulus beraspal. Kalau pun ada jalan yang agak rusak, cuma dibeberapa titik saja. Oh, ya, tempat yang saya maksud adalah Curug Cinulang, Cicalengka Kabupeten Bandung.

Kami berangkat dari Ciparay menuju Majalaya dan menelususuri jalan yang menghubungkan Majalaya Cicalengka. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan sawah yang sebagian sudah dipanen dan sebagian masih hijau. Nampaknya mereka menanam padi tidak serempak, sehingga memanenya pada waktu yang berbeda.

Tidak sampai satu jam kami sudah mendekati lokasi. Sekarang mulai terlihat ramai kendaraan yang didominasi roda dua. Mendekati lokasi kendaraan menuju ke atas mulai tersendat. Kurang lebih seratus meter dari lokasi sudah banyak kendaraan diparkir dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

“petugas” parkir yang jumlahnya melebihi cukup sibuk mengatur kendaraan diparkir di sisi kiri yang menghadap jurang dan kanan jalan yang menghadap tebing. Kendaraan roda dua yang disebelah kiri jalan sebetulnya bermain-main dengani bahaya karena berjarak beberapa centimeter saja dari tepi jurang.

Petugas parkir mengiformasikan bahwa lahan parkir dekat pintu masuk sudah penuh, dan dengan agak memaksa mengarahkan pengendara, terutama, roda dua untuk memarkir kendaraan jauh sebelum pintu masuk.

Selain mengatur parkir mereka juga berperan ganda sebagai broker karcis masuk. Memang harga yang ditawarkan sama dengan harga resmi tapi kami harus membayar parkir dua kali. Dan cara mewarkan mereka membuat pengunjung merasa tidak nyaman.

Setelah kami amati, ternyata para petugas parkir berlomba mengatur parkir dan mengarahkan setiap kendaraan di lahan parkir yang mereka kuasai. Kesimpulan saya, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok menguasai satu kapling.

Mereka juga terlibat dalam sebuah kerja sama kreatif dengan petugas penjaga pintu masuk. Tidak terhitung karcis yang seharusnya disobek menjadi dua bagian oleh penjaga pintu kembali lagi ketangan petugas parkir yang berperan ganda sebagai broker parkir. Dan tentu saja ditawarkan lagi ke pengunjung lain.

Di tempat Informasi saya sempat melihat dua anak muda yang sepertinya wartaan pemula yang sedang mencari informasi. Dari pembicaraan mereka dengan beberapa orang di tempat itu, yang salah satunya mendominasi pembicaraan, layaknya juru bicara, saya menangkap bahwa dua anak muda itu menanyakan jumlah pengunjung selama libur lebaran.

Dengan pongahnya sang “juru bicara” yang berpakaian bak jawara, atau tepatnya preman lokal, itu manjawab berbelit belit dan tidak memberikan informasi yang ditanyakan  kedua “wartawan” tadi.

“Kalian, wartartawan, mau dapat informasi dari kami untuk kepentingan bisnis kalian, semenatara kami dapat apa?”, kira-kira itulah kalimat yang keluar dari mulut sang Jawara dengan gayanya yang pongah dan pandangan merendahkan kedua pencari informasi itu.

Sementara  kedua “wartawan” yang nampaknya belum begitu berpengalaman itu hanya manggut manggut sambil senyum dipaksakan.

Saya tidak tahu kelanjutan perckapan mereka karena saya beranjak dan meninggalkan tempat itu. Lagi pula saya merasa eneg dengan tingkah dan gaya sang sawara yang KAMSE UPAY.

Memasuki gerbang Curug, saya mendapati lahan parkir yang berjarak beberapa meter saja dari pintu masuk masih bisa menampung puluhan kendaraan roda dua. Dugaan saya benar!

“Kehebatan” lokasi wisata itu tidak berhenti sampai disitu. Memasuki lokasi kita disuguhi pemandangan pedagang cindera mata yang tidak teratur. Dan ketika turun menuju curug, pemandangan yang seharusnya memanjakan mata terhalangi oleh kedai penjual makanan yang jumlahnya lebih dari banyak.

Pemandangan yang menjanjikan keindahan dan kesejukan mata terhalangi oleh atap-atap warung yang dilokasi yang seharusnya steril dari blokade yang mengubur pemandangan sejuk.

Sampai di arus sungai lebih menyedihkan. Plastik kemasan makanan, botol minuman, dan Styrofoam  berserakan di mana mana. Walaupun begitu beberapa anak remaja terlihat tak terganggu. Mereka berenang dan menyelam ke dasar sungai menikmati dinginnya air jatuhan dari curug. Dan beberapa anak usia sekolah dasar bermain air di tepi sungai.

Air terjun yang jatuh dari ketinggian mungkin bukan hal yang spektakuler dibanding beberapa air terjun yang lain yang ada di jawa barat, tapi sebetulnya punya potensi untuk menghibur dan memanjakan pengunjung yang ingin mearasakan kesejukan dan “pijatan” air yang jatuh ke bawah. Saya sempat merekam pelangi yang terbentuk dari pantulan sinar mentari dan cipratan air curug.

Hal yang menyebalkan ternyata belum habis. Beberapa pedagang lengkap dengan pikulannya berbaur dengan pengunjung dan dengan setia melayani pembeli, hanya beberapa meter saja dari air terjun, betul betul berada di sungai di atas batu-batu. Sebuah terobosan!

***

Dari pengalaman mulai dari tempat parkir sampai lokasi tujuan utama, saya berkesimpulan bahwa lokasi wisata itu dikelola amatiran oleh masyarakat lokal. Bagi saya amatir bukan hal yang negatif, tapi yang ini AMATIRAN.

Mereka hanya “menjual” lokasi, selesai, karena tujuan sudah tercapai, mendapatkan lembaran lembaran rupiah

Nampaknya masyarakat lokal yang menguasai lokasi itu hanya mengedepankan cari untung bukannya melayani. Dengan semangat melayani dan pengelolaan lokasi wisata dengan lebih professional sebetulnya akan secara otomatis menguntungkan mereka secara ekonomi.

Dan, pengelolaan wisata oleh masyarakat lokal sebetulnya bukan hal yang negatif. Bahkan hal itu bisa menjadi hal yang sangat positif karena itu berarti memanfaatkan potensi lokal dan sekaligus membantu ekonomi setempat.

Desa setempat yang namanya tercetak di karcis pun nampahnya tidak terlalu hirau dengan keadaan mengenaskan ini. Yang penting ada pemasukan untuk kas Desa. Dan mungkin ada pemasukan untuk kantong kantong perangkatnya.  

Curug Cinulang ku Sayang. Ternyata kau tak seindah gambaran dalam lagu yang dibawakan Seniman Sunda Almarhum Darso. Cobi, tiasa didangukeun didieu:

3 komentar:

  1. nya puguh..mun dikelolana bner mah jalan menuju lokasi teh moal palalur teuing jalan mnuju sungai mun ditata pasti lebih asik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kitu Kang Uday. Tinggal niat baik dan kemauan sajah, yah?

      Hapus
  2. Permisi admin

    numpang promo yah bos
    Berjudi di dewalotto menang terus dengan jackpot jutaan rupiah setiap hari
    bagi yang bingung main judi kalah terus yuk di coba d sini :

    www.dewalotto.club

    sillahkan di coba Keberuntungan nya bos dalam bermain di dewalotto.club
    Dengan min DP 20rb & WD 20rb bos bisa memenangkan permainan Chip Rupiah Asli loh !

    Untuk Info selengkapnya Hubungi kami di :

    WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE

    BalasHapus