Waktu itu adalah masa keemasan orde baru, dimana kekuasaan sekokoh tembok Cina yang tak akan bergeming walau pun dihantam seribu pasukan gajah.
Sedikit saja anda bersenandung dengan irama fals tentang penguasa, tangan-tangan kekuasaan akan meremas remas mulut anda dan menariknya dengan seketika sampai otak anda tercerabut dan tidak akan mampu berfikir lagi untuk sebuah sikap penolakan terhadap penguasa.
Walau pun anda tidak suka, anda harus mengenakan seragam yang tidak nyaman dan membuat kulit tubuh gatal-gatal. Saya yakin masa itu jumlah hitungan orang yang tidak mau berseragam tidak cukup dengan menggunakan seluruh jari yang masing masing kita miliki, tapi mereka tak berdaya.
Mereka lebih memilih untuk cari selamat, bukan cari si Slamet, yah! Tak terhitung yang sangggup merendahkan diri serendah rendahnya untuk dapat menjilat pantat penguasa. Dengan demikian hidup mereka terjamin selamat, dan tentu saja, kebagian sedikit kue kekuasaan.
Bagaimana dengan orang-orang kritis dan idealis dan tidak sudi untuk mengekor . di antara mereka ada yang rajin bernyanyi mengoposisi kekuasaan, walau pun oposisi adalah kata yang haram waktu itu. Tapi jumlah mereka tidak banyak karena yang lainnya memilih untuk tiarap merapat rata dengan tanah, seperti sedang bersenggama dengan bumi. Sosoknya? Hampir tak terlihat. Suaranya? Hampir tak terdengar!
Hingga pada waktunya, benteng berlapis yang nampak mustahil goyah itu berhasil diluluh lantakan dan hancur berkeping keeping oleh rejim baru yang berjudul “Reformasi”. Walau pun kata Reformasi saat itu dilarang keras oleh Duryodana–walau pun ahirnya dia meminta penguasa untuk lengser keprambon–untuk digunakan tapi Tuhan berkehendak lain.
Dan ini lah waktu emas untuk bangkit dari tiarap. Kebangkitan mereka berbarengan dengan waktu ketika matahari tepat di ubun-ubun. Banyak pahlawan yang jelas jelas telat rajin bernyanyi merdu. Bahkan banyak diantara mereka yang rajin menggelar road show.
Lucunya, para begundal yang pada masa Orde baru ada di barisan terdepan pembela kekuasaan langsung balik kanan. Tapi bukan nya terus membubarkan diri dari barisan tapi bersenandung merdu menjadi individu-individu yang paling reformasi. Mereka membentuk barisan baru, “pahlawan kesorean”. Kemaren-kemaren pada kemana, Coy?
Ternyata, Orde yang lebih baru dari orde baru ini bukanlah jawaban dari masalah yang membelit negeri gemah ripah loh jinawi ini. Mungkin harus beganti beberapa lusin orde lagi sebelum negeri tercinta ini menemukan bentuk tubuhnya yang ideal.
Sebelum saya tidak menyadari bahwa saya sedang terjerumus kejurang kebiasaan saya, ngelentur, sebaiknya saya kembali ke koridor semula yaitu tetang kelakar waktu SMA.
Seorang teman, sebut saja Si Budi–emang namanya si Budi, kok!,yang biasanya menjadi konsumen banyolan kawan-kawannya, tiba-tiba bertanya pada kami, “H2O + H2O + H2O sama dengan berapa?
Saya tidak harus berfikir keras untuk menjawabpertanyaan serupa itu. Walau pun teka-tekinya terdengar seperti rumus kimia dan saya sangat bebal dengan pelajaran itu. Guyonan itu berkualitas baik tapi jelas-jelas tidak orisinil.
Kebetulan semalam saya menyaksikan acara TV, yang kurang lebih secara jenisnya mendekati OVJ saat ini. Salah satu pelawak melontarkan pertanyaan serupa yang si Budi tanyakan. Saya yakin si Budi mengutip dari tayangan TV tersebut tapi dia tidak mencantumkan sumber referensinya.
Jadi jawabannya apa? BAJIR. Si Budi tidak berhasil bahkan dia menjadi sasaran olok-olok teman temannya, ya termasuk saya, he he he.
Kemudian apa keistimewaan dari pertanyaan si Budi yang tidak lucu tapi menimbulkan kelucuan baru itu?
Lha, wong banyolannya tidak lucu kok bisa istimewa! Tapi jujur saja banyolan yang seharusnya lucu tapi jadi tidak lucu itu berhasil menginspirasi saya.
Saya menemukan formula yang tidak masuk akal tapi merupakan satu kenyataan di negeri tercinta ini dan bahkan mungkin di dunia.
Perhatikan formula berikut: Cinta + cinta + cinta…= Setan. Mungkin anda, dan sebetulnya juga saya, tak habis mengerti, bagaimana mungkin cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia, kemudian cinta itu semakin dipupuk, kok bisa menghasilkan setan?
Cinta semestinya menimbulkan kadamaian, ketenangan, harmoni, kepedulian, perhatian, dan kasih sayang.
Coba perhatikan perjalanan berikut: Seorang anak manusia terlahir karena cinta ayah dan ibunya yang berpelukan merapatkan tubuh mereka. Sorga cinta yang mereka ciptakan ketika bergumul dalam gelora membara menghasilkan buah cinta putih tanpa cela.
Setelah gelar ke alam fana, cinta ayah bunda menabur buah cinta tanpa pernah terputus. Cinta anggota kerabat lainnya tak ketinggalan ikut menebar ke dalam jiwa kebanggaan dan harapan seluruh anggota keluarga.
Do’a-do’a kebaikan tak henti mengaliri jiwa yangselalu dahaga. Pengajaran formal, non formal, dan informal pun ayah bunda persembahkan untuk sang permata supaya kelak mendapat bekal yang cukup untuk mengarungi samudera yang tak selamanya berombak ramah. Di sana dia kembali belajar cinta dan kebaikan.
Campurtangan religi pun turut menyuburkan cinta sang pujaan hati. Semakin sempurna lah cinta anak manusia ini.
Tapi apa hasil dari berondongan aliran cinta yang dia dapatkan? Menjadi apa dia? TERORIS! Sebuah kata yang menebar rasa takut. Yangat membuat getir justru kata “iblis” itu diidentikan dengan Islam, sebuah agama Rahmatan lilalamin.
Karena kesalahan “kecil” dalam mengartikan ayat-ayat perjuangan agama, dia terjerumus ke dalam kubangan lumpur pekat hina dina. Hebatnya lagi, dia tidak menyesal dengan kematian dan ketakutan yang dia sebabkan. Tapi justru merasa bangga karena akan dibayar dengan surga di kehidupan setelah kematian.
Bali yang luluh lantak dan hotel marriot yang compang camping adalah prestasi yang membanggakan. Hilanggnya banyak nyawa yang tak berdosa adalah sebuah harga yang wajar untuk perjuangan atas nama Tuhan. Itu sudah terjadi sekian lama yang lalu, tapi bagi kerabat dan handai taulan yang ditinggalkan dua peristiwa itu seperti baru terjadi kemarin.
Kemudian , hantu baru mencekam warga ibukota dalam bentuk buku dan bungkusan paket. Itu untuk menunjukan kepada si ‘kafir’ bahwa mereka masih ada dan mampu berbuat sesuatu yang fenomenal.
Mereka merasa lebih benar dari siapa pun yang berfikiran beseberangan. Mereka yakin bahwa perjuangan nya adalah “hak”. Dan segala bentuk penenentangan terhadap perjuangan mereka adalah Setan yang darahnya halal. Sebetulnya mana yang Setan itu?
Gede Prana pernah mengatakan melalui Kompas, “ ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya dikelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menjaring mereka masuk ke dalam terowongan gelap kesalahfahaman. Mencaci mereka akan mempertebal kesalahfahaman.”
Saya tidak pernah mencaci mereka, tapi tidak habis fakir dengan jalan pemikiran mereka.
Dan saya yakin kabanyakan orang tidak akan menyangkal bahwa orang atau kelompok orang yang menghalalkan segala cara dengan membuat kerusakan di muka bumi, dan menghilangkan sekian banyak nyawa seperti tiada harga adalah berperilaku SETAN.
Semoga Agama Rahmatan lil alamin itu di usakan menjadi kenyataan oleh mereka yang lebih mengerti tentang agama dan oleh pemeluknya tidak terkecuali dengar porsinya masing-masing.
Semoa Allah mengampuni ketidakmengertian dan kebodohan saya.
Permisi admin
BalasHapusnumpang promo yah bos
Berjudi di dewalotto menang terus dengan jackpot jutaan rupiah setiap hari
bagi yang bingung main judi kalah terus yuk di coba d sini :
www.dewalotto.club
sillahkan di coba Keberuntungan nya bos dalam bermain di dewalotto.club
Dengan min DP 20rb & WD 20rb bos bisa memenangkan permainan Chip Rupiah Asli loh !
Untuk Info selengkapnya Hubungi kami di :
WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE