Daftar Blog Saya

Senin, 14 Juni 2010

Malaikat yang Berubah Menjadi Setan

Sedang asik-asiknya menikmati kemacetan rutin lalu lintas di atas tunggangan roda dua di jalanan ibukota di pagi hari, yang seharusnya segar dan sejuk tapi di sini sudah menyengat, tiba-tiba tunggangan yang setia mengantar kemana tuannya mau pergi ini jalannya tidak asik.

Tidak salah lagi! Pasti kena ranjau. Di sela sela himpitan motor lain yang banyaknya tidak alang kapalang, serta kendaraan roda lebih dari dua yang sama sama menuju tempat kuli atau mengantar anak kesayangan menuju tempat mengulik ilmu, saya perhatikan roda kendaraan ini.

Benar saja, ban belakang sudah mengeluarkan sebagian besar isinya. Dengan posisi duduk bergeser agak ke depan, saya lanjutkan perjalanan yang terasa sangat menyedihkan ini. Semoga saja tak jauh di depan sana ada malaikat penolong sedang menunggu.

Ahirnya setelah berjalan sekitar 200 meter sang malaikat terlihat di seberang jalan sedang duduk di sofa butut yang pegangannya sudah terlepas, dan busanya sudah bermetamorfosa menjadi deretan kayu bekas tempat kemasan telor.

Di depannya segelas kopi hitam masih mengepulkan asap segar mengundang selera. Sementara itu sang partner sedang sibuk merapikan peralatan dinasnya.

Ahirnya kendaraan saya sampai di depan tempat praktek sang malaikat.

“Bocor, Pak?”, sang malaikat mencoba untuk berbasa basi dan berempati kepada yang sedang dilanda kiamat kecil.

Setelah meyeruput kopinya dan tanpa menghiraukan jawaban saya, dia langsung mengeluarkan alat dan membongkar ban motor yang bannya kempis itu. Dia tidak mau pelanggannya lama menunggu.

Cepat sekali dia bekerja. Dalam hitungan menit ban dalam sudah terlepas kemudian mengecek. Selanjutnya dia berujar, “ Dua bocornya, Pak. Parah! Tapi ngak bisa ditambal. Nggak ada spiritus.”

Sebenarnya kalau ban bocor sampai dua, saya lebih memilih untuk mengantinya dengan ban dalam baru, tapi keadaan sedang tidak bekerja sama. Fulus sedang pada berlibur entah kemana. Yang tinggal didompet hanya ada tiga lembar dua puluh ribuan. Itu pun hasil dari pinjaman dari teman kerja. Memang masih ada sedikit lebihnya untuk beli bensin kalau dipake beli ban dalam, tapi besok?

Kuperhatikan si Malaikat penolong. Dua sayap putih itu sedikit demi sedikit mengkerut dan ahirnya menghilang. Agak kaget juga saya melihatnya.

Belum hilang kekagetan saya tiba-tiba dua tanduk kecil muncul menyeruak dari rambut nya yang berubah jadi gimbal.

“Wah. yang bener, Pak?”, aku mencoba meyakinkan tapi dengan nada tidak yakin.

“Benar, Pak. Dari kemarin sore. Ganti aja yah?” timpalnya.

Tanduk mungil itu sudah tumbuh lebih besar menghiasi kepalanya nya. Ternyata dia telah berhasil mengelabui mataku dengan kemampuan mimicry nya yang sempurna.

Tak ada gunanya berargumen! Apa lagi ketika memperhatikan tanduk di kepalanya yang yang sudah sebasar tanduk kerbau.

Ternyata kejutan masih berlanjut ketika dia mengambil ban dalam dan menyebut kan harganya. Dengan harga yang dia sebutkan saya bisa mendapatkan barang yang jauh lebih berkualitas. Bukannya kualitas rendahan seperti itu.

Dengan acuh tak acuh dia mengatakan tidak ada barang lagi yang ada cuma barang yang menurut dia kualitas standar itu.

Ibarat permainan bola saya dianggap melakukan pelanggaran di daerah terlarang maka hadiah penalti untuk lawan. Lawan menendang ke gawang saya tanpa saya boleh menjaga gawang. Apa daya saya?

Ketika proses pemasangan ban “kualitas standar” sedang berlangsung dan mendekati tahap ahir, sebuah sepeda motor nyelonong memasuki area praktek.

Kali ini sang partner yang meleyani dengan cekatan. Yang membuat saya heran dan sekalugus gusar, kayaknya proses penambalan akan terjadi karena sang partner sedang mempersiapkan alat alat tambal ban. Terahir dia mengeluarkan sebuah botol dari balik kios. Sebotol…spiritus!

“Kok itu spiritusnya ada, pak?” saya bertanya pada sang Setan untuk menumpahkan rasa gondok saya. Tapi sang Setan tidak bergeming. Dia tetep “tekun” mengerjakan tugasnya. Pertanyaan saya seolah kentut bau yang layak diabaikan.

Setelah kelar, saya bayar dan langsung tancap gas ingin cepat meninggalkan tempat sial itu. Dia pun seolah tidak memperhatikan mimik, perilaku, dan nada bicaraku. Dia sedang merayakan kemenangan dan gembira dengan sedikit uang hasil “jerih payahnya.”

Sepanjang perjalanan ke tempat kerja, kepala ku justru sudah mulai bekerja dari tadi memikirkan bagaimana caranya besok mendapatkan uang bensin untuk bisa kembali berangkat ke tempat kerja.

Bismillah, pasti ada jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar