Agustus kemarin tahun ini ketika saya berada di Bandung
untuk beberapa hari, ada kesempatan untuk mengunjungi tempat yang terahir saya
kunjungi 15 tahun yang lalu. Seperti
bulan lalu, ketika itu musim kemarau panjang yang memeras keringat.
Kami berangkat dari Ciparay menuju Majalaya dan menelususuri
jalan yang menghubungkan Majalaya Cicalengka. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan
sawah yang sebagian sudah dipanen dan sebagian masih hijau. Nampaknya mereka
menanam padi tidak serempak, sehingga memanenya pada waktu yang berbeda.
Tidak sampai satu jam kami sudah mendekati lokasi. Sekarang
mulai terlihat ramai kendaraan yang didominasi roda dua. Mendekati lokasi
kendaraan menuju ke atas mulai tersendat. Kurang lebih seratus meter dari
lokasi sudah banyak kendaraan diparkir dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.
“petugas” parkir yang jumlahnya melebihi cukup sibuk
mengatur kendaraan diparkir di sisi kiri yang menghadap jurang dan kanan jalan
yang menghadap tebing. Kendaraan roda dua yang disebelah kiri jalan sebetulnya
bermain-main dengani bahaya karena berjarak beberapa centimeter saja dari tepi
jurang.
Petugas parkir mengiformasikan bahwa lahan parkir dekat
pintu masuk sudah penuh, dan dengan agak memaksa mengarahkan pengendara, terutama,
roda dua untuk memarkir kendaraan jauh sebelum pintu masuk.
Selain mengatur parkir mereka juga berperan ganda sebagai
broker karcis masuk. Memang harga yang ditawarkan sama dengan harga resmi tapi
kami harus membayar parkir dua kali. Dan cara mewarkan mereka membuat
pengunjung merasa tidak nyaman.
Setelah kami amati, ternyata para petugas parkir berlomba
mengatur parkir dan mengarahkan setiap kendaraan di lahan parkir yang mereka
kuasai. Kesimpulan saya, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap
kelompok menguasai satu kapling.
Mereka juga terlibat dalam sebuah kerja sama kreatif dengan
petugas penjaga pintu masuk. Tidak terhitung karcis yang seharusnya disobek
menjadi dua bagian oleh penjaga pintu kembali lagi ketangan petugas parkir yang
berperan ganda sebagai broker parkir. Dan tentu saja ditawarkan lagi ke
pengunjung lain.
Di tempat Informasi saya sempat melihat dua anak muda yang
sepertinya wartaan pemula yang sedang mencari informasi. Dari pembicaraan
mereka dengan beberapa orang di tempat itu, yang salah satunya mendominasi
pembicaraan, layaknya juru bicara, saya menangkap bahwa dua anak muda itu
menanyakan jumlah pengunjung selama libur lebaran.
Dengan pongahnya sang “juru bicara” yang berpakaian bak
jawara, atau tepatnya preman lokal, itu manjawab berbelit belit dan tidak
memberikan informasi yang ditanyakan
kedua “wartawan” tadi.
“Kalian, wartartawan, mau dapat informasi dari kami untuk
kepentingan bisnis kalian, semenatara kami dapat apa?”, kira-kira itulah
kalimat yang keluar dari mulut sang Jawara dengan gayanya yang pongah dan
pandangan merendahkan kedua pencari informasi itu.
Sementara kedua
“wartawan” yang nampaknya belum begitu berpengalaman itu hanya manggut manggut
sambil senyum dipaksakan.
Saya tidak tahu kelanjutan perckapan mereka karena saya
beranjak dan meninggalkan tempat itu. Lagi pula saya merasa eneg dengan tingkah
dan gaya sang
sawara yang KAMSE UPAY.
Memasuki gerbang Curug, saya mendapati lahan parkir yang
berjarak beberapa meter saja dari pintu masuk masih bisa menampung puluhan
kendaraan roda dua. Dugaan saya benar!
“Kehebatan” lokasi wisata itu tidak berhenti sampai disitu.
Memasuki lokasi kita disuguhi pemandangan pedagang cindera mata yang tidak
teratur. Dan ketika turun menuju curug, pemandangan yang seharusnya memanjakan
mata terhalangi oleh kedai penjual makanan yang jumlahnya lebih dari banyak.
Pemandangan yang menjanjikan keindahan dan kesejukan mata
terhalangi oleh atap-atap warung yang dilokasi yang seharusnya steril dari blokade
yang mengubur pemandangan sejuk.
Sampai di arus sungai lebih menyedihkan. Plastik kemasan
makanan, botol minuman, dan Styrofoam
berserakan di mana mana. Walaupun begitu beberapa anak remaja terlihat
tak terganggu. Mereka berenang dan menyelam ke dasar sungai menikmati dinginnya
air jatuhan dari curug. Dan beberapa anak usia sekolah dasar bermain air di
tepi sungai.
Air terjun yang jatuh dari ketinggian mungkin bukan hal yang
spektakuler dibanding beberapa air terjun yang lain yang ada di jawa barat,
tapi sebetulnya punya potensi untuk menghibur dan memanjakan pengunjung yang
ingin mearasakan kesejukan dan “pijatan” air yang jatuh ke bawah. Saya sempat
merekam pelangi yang terbentuk dari pantulan sinar mentari dan cipratan air
curug.
Hal yang menyebalkan ternyata belum
habis. Beberapa pedagang lengkap dengan pikulannya berbaur dengan pengunjung
dan dengan setia melayani pembeli, hanya beberapa meter saja dari air terjun,
betul betul berada di sungai di atas batu-batu. Sebuah terobosan!
***
Dari
pengalaman mulai dari tempat parkir sampai lokasi tujuan utama, saya
berkesimpulan bahwa lokasi wisata itu dikelola amatiran oleh masyarakat lokal.
Bagi saya amatir bukan hal yang negatif, tapi yang ini AMATIRAN.
Mereka hanya
“menjual” lokasi, selesai, karena tujuan sudah tercapai, mendapatkan lembaran
lembaran rupiah
Nampaknya masyarakat
lokal yang menguasai lokasi itu hanya mengedepankan cari untung bukannya
melayani. Dengan semangat melayani dan pengelolaan lokasi wisata dengan lebih
professional sebetulnya akan secara otomatis menguntungkan mereka secara
ekonomi.
Dan, pengelolaan
wisata oleh masyarakat lokal sebetulnya bukan hal yang negatif. Bahkan hal itu
bisa menjadi hal yang sangat positif karena itu berarti memanfaatkan potensi lokal
dan sekaligus membantu ekonomi setempat.
Desa setempat
yang namanya tercetak di karcis pun nampahnya tidak terlalu hirau dengan
keadaan mengenaskan ini. Yang penting ada pemasukan untuk kas Desa. Dan mungkin
ada pemasukan untuk kantong kantong perangkatnya.
Curug Cinulang
ku Sayang. Ternyata kau tak seindah gambaran dalam lagu yang dibawakan Seniman
Sunda Almarhum Darso. Cobi, tiasa didangukeun didieu: