Dengan episentrum di kota tetangga Jakarta, Tangerang, efeknya bisa dirasakan di setiap penjuru negeri. Jutaan simpati untuk korban utama Prita, berton ton antipasti terhadap si pendorong gempa yang sarat uang dan juga keangkuhan , bergalon galon ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum dan keadilan, sampai terkumpulnya berkaleng kaleng koin kepedulian terhadap sesama yang sedang dilanda prahara karena keadilan sedang diujung fase menuju kematian menjadi bukti betapa dahsyatnya akibat gempa itu.
204 juta dalah sebuah ongkos yang harus dibayar korban utama gempa akibat kebodohannya. 204 juta adalah sebuah harga yang sangat wajar untuk seorang anak manusia yang ceroboh karena menyeberang jalan tanpa lihat kiri kanan di sebuah lalulintas dimana monstyer-monster bertampang manis dan terhormat baerseliweran yang tanpa ampun akan melindas siapa saja yang tidak hati-hati melangkahkan kakinya.
“Itulah akibatnya kalau bermain-main dengan kami,” mungkin itu kalimat yang keluar dari mulut mereka yang cantik tapi beracun serangga mematikan itu ketika mendengar dendang suara merdu sang pengadil memutus perkara dan dentam nyaring palu hakim tiga kali berturut-turut.
Tapi nampaknya gempa dahsyat itu bukan yang terakhir. Itu hanyalah satu episode dari serangkaian episode. Sebagian telah dimainkan dan setidaknya satu atau dua episode lainya akan segera menyusul.
Episode ke depan mungkin akan semakin meluluhlantakan Prita dan sekian juta manusia penduduk negeri yang hatinya masih berfungsi. Atau mungkin membalikan akibat dari gempa menjadi menentramkan jiwa yang haus akan penegakan hukum dan keadilan seperti yang seharusnya.
Dengan sebuah ketapel kebenaran dan keadilan yang didukung oleh keyakinan kebenaran, David mampu membidik jatuh Goliat yang gagah berani, pongah, dan serakah.
Ketika waktunya tiba, koin-koin manusia liliput itu akan menghunjam tepat ke dalam ulu hati raksa bergelimang permata yang sombong itu.
“Kami para liliput bersamamu, Prita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar