Waktu masih menunjukan jam 10 WIB ketika Si Amat sedang bersiap siap pulang kerja. Ya untuk hari itu dia tidak punya pekerjaan lagi untuk dilakukan. Segera dia menuju tempat parkir untuk menjemput kendaraan kesayangannya. Ya, hari itu dia mengendarai sepeda motornya. Tadinya dia mau mengendarai mobil impiannya tapi karena mengejar waktu maka dia memakai kendaraan anti macet nya. Lagi pula mobilnya akan di pakai ke pasar sama pembantunya untuk belanja nanti siang.
Oh ya. Sebelum saya lanjutkan cerinya, saya akan mengulas sedikit tentang si Amat ini. Seperti kita maklum Si amat adalah seorang pesohor. Dari mulai anak anak bau cingur sampai orang jompo bau tujuh rupa mengenal si Amat, walau pun mungkin mereka tidak mengakui tidak menyadarinya. Tidak menyadarinya? Kok bisa? Ya, bisa, lah!
Jangan terkejut kalau anda juga sangat megenal dia! Atau setidaknya anda sering mengucapkannya. Mungkin tiap- hari.
Ya, begitulah nasib si Amat. Dia terkenal tapi tidak mendapatkan keuntungan dari keterkenalanya. Tidak seperti Shinta dan Jojo, misalnya, yang mendadak dangdut, eh, terkenal hanya karena tuah Keong Racunnya.
Perhatika ungkapan berikut: “bagus amat gambarnya”, “kok begitu amat, sih, ceritanya”, “nggak, dia nggak bagus bagus amat”, “ sepia amat sih. Orang orang pada kemana?”.
Ungkapan yang miring ke kiri dan ke kanan pun sering membawa bawa nama Si Amat, "Kampungan amat, sih!", "nyebelin amat, tuch orang", "mengerikan amat!".
Tidak kah ungkapan-ungkapan di atas menunjukan bahwa si Amat banyak dikenal atau setidaknya banyak di ucapkan namanya. Masih ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan ungkapan yang membawa bawa nama Si Amat. Apa anda setuju si Amat orang terkenal? Nggak? Yah, terserah anda, lah, kareana itu sebenarnya nggak penting-penting amat.
Walau anda mungkin tidak setuju, saya tetap memberi apresiasi terhadap keterkenalan si Amat dengan tidak lagi menyematkan label “Si” di depan namanya. Sekarang saya akan memanggil dia dengan title bari Mr. Amat.
Kembali lagi ke cerita semula tentang Si, eh, Mr. Amat. Setelah agak kesulitan menstater kendaraan roda duo maya nya. Ahirnya dia berhasil juga. Ketika motor nya menyalak di pun berteriak, “berhasil, berhasil, berhasil”. Oh, ya. Saya lupa menginformasikan bahwa Mr. Amat juga fan beratnya Dora. Tanpa menunggu lama dia pun meluncur menuju rumah.
Di persimpangan yang sebetulnya sering dia lewati dia salah belok dan memasuki jalan yang berlawanan arah. Ketika dia sedang melaju kencang sebuah sepeda motor dari arah yang berlawanan mengibas ngibaskan tangan seperti yang biasa dilakukan hakim garis ketika melihat salah satu pemain off-side. Semula dia nggak mengerti bahkan mengira orang itu iseng saja atau tangannya sedang terkena serangan keram.
Tapi kemudian otak cemerlang nya mengirim sinyal bahwa ada sesuatu yang salah. Secepat kilat dia menyadari bahwa di jalan itu diberlakukan satu arah sampai jam sebelas. Dia biasanya melewati jalan itu sore hari.
Jelas sekali tergambar dalam data base kepalanya bahwa sekitar 300 meter di depan ada pos polisi dan lima sampai enam polisi sering terlihat menjalankan tugas mulianya. Kalau ketemu dia bisa bahaya. Memang sih kita bisa beramah tamah dan bersilaturahim, tapi ujung ujungnya isi di kantong yang tidak seberapa ini akan semakin menipis. Atau hatrus beurusan dengan pak hakim dan pak jaksa. Kapan saya akan disidang? Sudah tiga …
Di depan ada belokan menuju pearumahan sebuah BUMN kemudian dia belok untuk cari jalan tikus. Perlu dimaklumi , di daerah ini banyak tikus membuat jalan dan jalan itu sering digunakan oleh manusia. Untungnya, para tikus tidak pernah marah.
Setelah berkelok kelok sebentar ahirnya dia sampai juga ke jalan yang benar. Lega lah hati Mr. Amat. Setelah sekian menit, dia melihat dua motor polisi bergandengan mesra sambil berjalan pelan. Dalam hati Mr. Amat tersenyum seolah olah telah memenangkan sebuah undian berhadiah. Hatinya juga semakin tanang karena dekat dengan pengayom masyarakat ini.
Karena dua kendaraan polisi itu Berjalan santai dengan mudah Kendaraan Peking Mr. Amat melewati dua kendaraan halilintar pak polisi. Sekarang dia memimpin. Dan jauh memimpin. Sekarang fokus ke depan.
Ketika Mr. Amat sedang asik memacu kencang kendaraanya, anda sebetulnya bisa maklum seberapa kencang, sih, bebek peking bisa malaju, tiba tiba tepat di sebelah kiri sejajar ada kendaraan lain dan sang pengendara mengibaskan tangan meminta saya untuk minggir. Jelas sekali bukan karena keram tangan, tapi Pak Polisi.
Dengan tenang karena merasa tidak berbuat salah dia meminggirkan motor dan ketika sudah berhenti, dia bertanya, “Ada apa, Pak?”
“Selamat pagi, Pak!”, dia menghampiri tanpa menjawa pertanyaan Mr. Amat.
“Bisa lihat STNK dan SIM nya?” dia melanjutkan kemudian mengamati STNK dan AIM setelah Mr. Amat menyerahkannya.
“Bapak mau berangkat kerja?”, dia berbasa basi. Mr. Amat menjawab seperlunya.
“Bapak tadi menyalakan lampu tidak? Coba jawab dengan jujur!”, sekarang dia bertanya
dengan gaya interogasi dan menyudutkan.
Mr. Amat mengamati bebek pekingnya. Dia juga tidak menyadari kalau lampu nya nyala atau tidak. Dia tipe orang pelupa. Dan dia tidak terlalu sering menyalakan lampu motornya. lagi pula selama ini tidak pernah ada masalah walau pun lampu motornya tidah menyala dan berpapasan dengan polisi.
“Tidak, Pak”, jawab Mr. Amat dengan jujur tanpa berusaha untuk mengelak atau mencari cari alasaan.
“Bapak sekarang tahu kan pelanggaran yang telah Bapak lakukan?”, kata polisi berkumis mirip suami Inul itu penuh kemenangan. Selanjutnya dia berceramah tentang peraturan menyalakan lampu motor di siang hari dan blab la bla dan blab la bla…
Kemudian dia membuka buku yang berisi peraturan-pereturan lalulintas dan menunjuk peraturan menyalakan lampu dengan lebih focus pada berapa besar denda yang harus saya bayar kalau harus sidang. Di situ tertulis angka Rp 100.000. saya tidak terlalu memperhatikan apakah itu denda minimal atau maksimal. Tapi uang sejumpah itu lumayan lah.
“Jadi bagaimana, Pak? Bapak mengerti?
“Ya, pak”, Mr Amat mengakui kesalahannya dengan jentelmen. Kemudian da melanjutkan, “ kalau tidak sidang bisa nggak, Pak?” Mr. Amat sedang mencoba bemain api.
“Bapak punya berapa?”, Pak Polisi menggigit umpan Mr. Amat, dan permainan yang sesungguhnya segera dimulai.
“Rp 20.000”, jawab Mr. Amat. Kepalanya masih mengingat dengan jelas bahwa di kantong celananya ada uang Rp. 40.000 pengembalian waktu mengisi bensin. Sedianya dia ingin menyebutkan angka Rp 10.000, tapi takut Pak Polisi yang terhormat merasa tersinggung dengan jumlah yang hanya cukup semangkok bakso itu.
“Dendanya aja bisa Rp. 100.000, dan saya juga masig dapat bagian dari denda itu. Masa Rp 20.000?” dia berjuang untuk jumlah yang lebih terhomat.
“Bagaimana kalau Rp 30.000” Timpal Mr. Amat tanpa fakir panjang.
“Setengahnya, ada nggak? Pak Polisi masih gigih berjuang.
“Aduh, nggak ada, Pak.”
“Kalau begitu saya tilang saja”, kemudian dia menyebutkan kemungkian hari, tanggal, dan jam persidangan.
“Ya udah, tilang saja, deh, Pak!”, Kata Mr. Amat tanpa nada menantang.
Kemudian sang pengayom itu mulai menuliskan sesuatu di buku tilang, tapi baru menulis satu dua kata, dia berhenti dan mencoba berbasa basi dengan menanyakan kembali tempat tinggal Mr. Amat dan lain lain dan lain lain.
Kemudian dia bertanya, “Jadi bagaimana, ada nggak setengahnya?”. Dia mengecap ludahnya sendiri.
“Ya, seperti saya bilang tadi, Pak. Kalau segitu, saya nggak bisa.” Mr. Amat bertahan dan berfikir lagi untuk menghindari sidang yang kemungkinannya panjang dan melelahkan.
“Ya, udah. Ikuti saya dan siapkan uangnya.” Sahut Pak polisi smbil menaiki motornya dan berlalu.
Sejenak Mr. Amat termangu dan tersenyum tanpa mampu mengartikan apa arti senyum nya. Sebelum penyakit lupa nya sempat menelikung, segera dia menaiki motornya dan mengkuti Pak polisi.
Setelah kurang lebih tiga ratus meter dia berhenti di tempat yang strategis. Tidak jauh dari tempatnya berhenti rekan-rekannya sedang melakukan tugasnya, menilang pengendara motor.
Selanjutnya Mr. Amat tidak banyak memperhatikan apa yang rekan-rekannya lakukan.
Setelah berhenti Mr. Amat menghampiri Pak polisi dengan lembaran sepuluhan ribu di tangannya. Setelah dekat pak polisi memberikan perintah, “Masukan ke sini”, sambil membuka kotak kaleng mirip kotak amal di mushola di belakang motornya.
Setelah fulus masuk, dia bertanya lagi, “Berapa, tadi?”
“Rp. 30.000” Sahut Mr. Amat.
Selanjutnya Pak polisi dengan kesadaran tinggi mengembalikan STNK dan SIM Mr. Amat diiringi doa semoga Mr. Amat tidak ketemu dia lagi ketika melangar peraturan lalulintas. Win-win solution pun tercapai. Artiya polisi menang dan menang lagi. Sedang Mr. Amat Cuma bisa gigit jari dan baru berhenti setelah jarinya terasa sakit karena digigit terlalu keras.
Kasian amat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar