Daftar Blog Saya

Selasa, 28 Juli 2009

Catatan dari Hari Anak Nasional

Tanggal 23 Juli beberapa hari yang lalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Berbanggalah anda yang saat ini masih berstatus sebagai anak. Bagaimana tidak? Hari ini sengaja didedikasikan bagi kita, anak-anak Indonesia. Anak-anak yang diharapkan bias membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.


Anak juga adalah aset bangsa. Setelah beranjak menjadi remaja kemudian dewasa, ia akan menjadi tulang punggung di keluarganya, baik menjadi seorang ibu maupun seorang ayah, pemimpin RT, RW, sampai menggantikan para penguasa, dan puncak tertinggi kekuasaan Negara.


Momentum hari anak nasional yang setiap tahunnya diperingati seharusnya tidak berhenti di peringatan saja, tapi digunakan untuk membuat langkah-langkah nyata perbaikan nasib anak Indonesia, karena masih banyak anak Indonesia yang tinggal di kolong jembatan, mengemis atau mengamen di perempatan jalan, sampai jualan cobek dan ulekan mulai pagi buta sampai malam gelap.


Yang lebih mengerikan adalah masih banyak anak Indonesia yang tidak bisa bersekolah karena berbagai alasan tapi seklalu bermuara di masalah ekonomi.


Yang tak kalah mengerikannya, masih banyak pula anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual oleh para monster phedophil, sekaligus menjadi komoditi yang sangat menguntungkan. Hal itu selain menghancurkan masa depannya mereka, juga menjadi tanda-tanda buruk bagi masa depan sebuah negeri.


Ada yang menggelitik dari komentar Seto Mulyadi,” Seolah-olah sekolah yang mahal sudah pasti bagus". Itu adalah keliru menurut pandangan beliau.


Mengapa sekolah menjadi perhatian kita? Karena dari sanalah individu berkualitas dihasilkan, walaupun sekolah bukan lah satu-satunya candradimuka bagi bagi manusia mumpuni yang bias beguna bagi sesamanya.


Jadi jangan memilih sekolah karena mahal atau bejibun extra kurikulernya. Terlalu banyak kegiatan juga bsa dikategorikan exploitasi anak. Biarkan lah mereka mencari kesukaannya sendiri. Banyak kegiatan tidak akan jadi masalah kalau anak-anak bias menikmati atau menyukainya.


Tapi masalahnya, sekolah yang terbilang “murah” pun masih tetap mahal untuk banyak orang. Jangan kan untuk membayar sekolah yang “murah”, atau membeli seragam atau buku, untuk makan pun mereka harus berusaha setengah mati. Kalau yang yang setengah nya lagi ikut mati juga, artinya mareka Cuma bisa berharap bias mendapatkan “kehidupan” baru yang di kehidupan setelah kehidupan yang sekarang.


Berdasarkan catatan Komnas PA, pada tahun 2004 lebih dari 200 ribu dari lebih dari 20 juta anak Indonesia buta aksara. Sedangkan persentase anak yang tidak memperoleh pendidikan lebih dari 5 persen untuk SMP, 67,68 persen SLTA, dan 72,65 persen untuk pendidikan anak usia dini.


Adapun data anak yang putus sekolah pada 2002 dari SD-SLTA berturut-turut 1,45 persen, 2,27 persen dan 2,48 persen. Belum lagi, anak yang berada di daerah konflik dan dalam perlindungan khusus.


Data di atas menunjukan bahwa di negeri yang sudah “maju” ini masih banyak individu yang terbelakang atau dipaksa terbelakang karena bekal pendidikannya tidak memadai.


Sementara di sebagian kalangan mereka berkutat dengan metoda pweendidikan tercanggih dengan multi media yang complex, di kalangan lainnya pendidikan adalah sebatas impian, walau pun menurut undang-undang (kalau masih belum diamandemen) pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk setiap warga negara.


Belum selesai dengan masalah pendidikan yang belum merata, kita juga dihadapkan dengan banyak masalah lainnya. Di antaranya Televisi.


Untuk beberapa hal televise sangat bermanfaat bagi kehidypan kita. Selain untuk sarana hiburan, juga bisa menjadi sumber ilmu.


Yang jadi masalah, terlalu banyak kleluarga yang terlalu permisif terhadap keberadaan televise. Entah berapa jam seorang anak menghabiskan waktu di depan televise. Yang jelas pasti lebih banyak dari waktu yang dia habiskan untuk belajar di rumah.


karena idak ada batasan menonton televis untuk anak-anak. Mereka menjadi semakin akrab dengan media ini, kadang lebih akrab dari pada dengan orang rua mereka. Dan selanjutnya mereka menjadi kecanduan. Mereka menonton televise bukan karena ingin tapi karena merasa harus. Kadang focus mereka bukan ke Televisi tapi televise harus terus on.


Jalan keluarnya adalah orang tua harus punya keberanian untuk membatasi jam nonton televise untuk anaknya. Hal ini lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Tapi betapa pun sulitnya. Kita harus memulainya.


Jadi sekecil apa pun yang kita perbuat dan kesempit apa pun scope nya tetap akan member kontribusi positif untuk kemaslahatan bangsa. Sebesar apapun suatu hal adalah merupakan kumpulan dari hal-hal kecil.


Bravo anak Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar