Menurut catatan satistik, masih ada sekian juta manusia
Yang pertama versi boga lalakon (baca: penguasa). Versi ini irit angka, jumahnya paling sedikit, hampir menyentuh bumi. Yang kedua versi manusia-manusia di luar system—dan kepengen menguasai system. Angkanya membumbung menandingi cakrawala. Dan yang ketiga versi netral yang menghasilkan angka yang lebih “masuk akal”. Tapi versi manapun yang kita jadikan referensi, jumlah itu tidak lah sedikit.
Di tengah-tengah derita sekian juta penduduk negeri ini, dan, tentu saja, berjuta-juta penduduk negeri lainnya yang kebanjiran dan tenggelam dalam lautan limpahan duniawi, ada sebuah ingar-bingar membahana dari persiapan pestanya si demokrasi yang hari H-nya tinggal hitungan jari-jari satu tangan saja, tepatnya 8 Juli nanti.
Mereka tak segan menebar rupiah ke seantero jagat nusantara demi sebuah cita-cita mewujudkan pasangan penguasa dari sebuah negeri berpenghuni lebih dari 200 juta nyawa. Entah dari mana rupiah yang mereka hamburkan itu bersumber, yang jelas kalau digabung dari ketiga tim pemenagan kompetisi untuk kekusaan
Saya tidak sanggup menulis jumlah itu semua dalam angka. Saya tidak pernah melihat apalagi menyentuh rupiah sebejibun itu. Untuk memilikinya adalah sebuah mimpi di siang bolong melompong, bagaikan pungguk merindukan bulan. Kalau sang pungguk masih bisa menikmati bulan, bahkan bulan purnama sekali sebulan, bagi saya mimpi adalah sebuah mimpi yang tak akan pernah datang menghampiri, setidaknya untuk saat ini. Siapa tahu ada kuda tumpak jurig (baca: nothing is impossible), yah! Maka dari itu saya pun tidak begitu yakin jumlah segitu nol nya ada berapa? Daripada salah nulis, saya kolaborasikan saja dua angka dengan duabelas alphabet maka muncul lah 50 Milyar Rupiah. Dan harap diingat, jumlah yang segitu banyaknya itu adalah uang semua tanpa dicampur guntingan kertas koran, tanpa dicampur daun kering, tanpa dicampur es campur atau nasi campur.
Sebagai orang yang naif, saya sempat berfikir, seandainya uang sebanyak itu digunakan untuk membiayai sebuah mega (dengan m kecil) proyek yang bukan untuk tujuan pragmatis, berapa pekerjaan yang yang mungkin tecipta? berapa orang miskin yang bisa mengangkat tumor penderitaannya yang sudah menahun? dan berapa angka pengangguran yang bisa terpangkas?
Tapi jalan fikiran orang bego tidak akan bisa menandingi otak cemerlang orang-orang pintar. Sementara orang bego seperti saya cuma bisa berandai-andai, orang-orang cerdas itu sudah dan sedang melakukan hal-hal yang “kongkrit”.
Mereka sudah berhasil memperkosa iklan mie instan menjadi lebih “merdu”, menggali sejarah cemerlang masa silam, dan tak ketinggalan, jasa-jasa “spektakuler” yang telah ketiga pasangan jagoan mereka ciptakan, dan tak lupa menyenandungkan lagu-lagu indah yang kelak akan mereka persembahkan dalam bentuk yang lebih "riil" seandainya mereka berkuasa nanti.
Dari kerja keras “atas nama rakyat” itu, 2923 spot iklan sudah mereka habiskan, dan itu belum selesai, masih ada beberapa hari lagi. Bukan kah itu sebuah “persembahan untuk rakyat” yang spektakuler, bombastis, dan ruaaarrrrr biasa?
Tapi kalau ada yang berfikir bangsa besar ini mudah terpengaruh iklan wah yang harganya mungkin tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, maaf saja kalau saya katakana mereka keliru. Sudah lama bangsa yang lahir lebih dari 60 tahun yang lalu ini cerdas dalam berfikir dan bijaksana dalam membuat keputusan walaupun pendidikan di negeri ini masih setinggi langit ketujuh (baca: tak terjangkau). Tapi hidup yang sulit dan pernah terkekang sekian lama mendewasakan dan mencerdaskan mereka walau pun tidak berentet gelar di depan dan belakang nama mereka.
Tak terhitung dari penduduk negeri yang sudah lama muak dengan slogan yang tidak mampu mengenyangkan perut-perut lapar mereka, dan bosan dengan janji-janji semanis madu yang, tentu saja, tiak pernah bisa meredakan dahaga mulut-mulut dan tenggorokan-tenggorokan mereka.
Jadi, apa yang bisa mengenyangkan-perut-perut mereka? Dan apa pula yang bisa menghapus dahaga mulut-mulut mereka? Pertama, pendidikan murah. Tidak perlu gratis, tapi yang penting mereka mampu manjangkau harganya, dan bukannya prguruan tinggi yang disulap menjadi mesin uang. Kemudian harga kebutuhan pokok yang realistis, dan bukannya saweran rupiah yang jumlahnya tidak seberapa, yang dalam pembagiannya mereka harus merendahkan martabat mereka serendah-rendahnya dan berdarah-darah pula.
Kalau kedua kebutuhan di atas sudah terealisasi, barulah kebutuhan papan mereka yang harus dipenuhi. Untuk mewujudkan hunian layak, penguasa tidak usah repot-repot membagi-bagikan rumah gratis. Kami bukan PENGEMIS! Sediakan saja lapangan pekerjaan yang tidak hanya menjerat leher-leher para romusha dalam sebuah ikatan kontrak yang hanya menguntungkan para kompeni semata, tapi pekerjaan yang saling menguntungkan antara pemberi dan penerima pekerjaan. Dengan begitu para pekerja akan lebih bermartabat dan tentu saja akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya termasuk kebutuhan akan tempat layak untuk menghindarkan diri dari sengatan matahari dan berteduh dari guyuran hujan, dan tak kalah pentingnya, menjadi tempat sebuah proses pendidikan demi mewujudkan sebuah keluarga yang ideal.
Itu adalah sebagian dari mimpi yang penduduk negeri inginkan manjadi sebuah bentuk yang nyata, bukan cuma manis gula dari mulut-mulut yang sebenarnya berbisa. Mampukan salah satu pasangan yang kelak akan menjadi penguasa negeri itu mewujudkan mimpi anak-anak negeri ini?
Tak usah bertanya pada rumput yang begoyang, karena anda tidak akan mendapatkan jawaban apa pun. Biarkanlah ketiga pasangan itu bertanya pada diri mereka masing-masing, “Apakah aku mampu dan berniat untuk merealisasikan janji manis yang aku gelontorkan dan angin sorga yang aku hembusakan?” Tak ada yang tahu jawabannya, kecuali mereka sendiri dan Dia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar